SAAT pencanangan Sensus Penduduk 2020 Online di Balai Serindit, Gedung Daerah, Jalan Diponegoro, Pekanbaru, 15 Februari 2020 lalu, Gubernur Riau Drs. H. Syamsuar, M.Si, di akhir sambutannya menyatakan bahwa ke depan Provinsi Riau harus mampu mencukupi kebutuhan pangan. Walau belum sampai pada tahap swasembada, namun setidaknya mampu meningkatkan jumlah produksi beras. Sektor pertanian tidak harus selalu kelapa sawit, namun tanaman pangan perlu dikembangkan agar Provinsi Riau tidak bergantung pada provinsi lain dalam kecukupan pangan.

Lalu bagaimana dengan data pangan Provinsi Riau saat ini? Apakah sudah cukup untuk konsumsi penduduk Riau?

Pada tanggal 1 Maret 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau merilis angka produksi padi tahun 2018 dan tahun 2019. Angka ini merupakan hasil dari Survei Kerangka Sampel Area (KSA). Survei KSA merupakan kerja sama BPS, BPPT, Kementerian ATR/BPN, LAPAN dan BIG.

Ide dasarnya adalah melakukan pengamatan fase tanaman padi di lahan pertanian berbasis data Luas Baku Sawah yang dikeluarkan Kementerian ATR/BPN. Setiap akhir bulan, selama 7 hari sebanyak 3.006 titik diamati fase tanamannya lalu dilaporkan ke pusat data.

Pengamatan dilakukan dengan memfoto obyek dan memberikan laporan kondisi fase tanaman. Misalnya, fase vegetatif atau fase generatif atau fase panen. Dari hasil pengamatan KSA dapat diketahui berapa luas panen padi tiap bulan selama setahun.

Untuk mendapatkan data produksi padi, selain diketahui luas panen maka harus diketahui berapa produktivitasnya, karena data produksi diperoleh dari hasil perkalian luas panen dalam satuan hektar dengan produktivitas dalam satuan ton/hektare.

Cara atau metode survei untuk mengetahui produktivitas lahan pertanian adalah dengan survei tanaman pangan ubinan. Survei ubinan dilakukan pada lahan yang menjadi pengamatan survei KSA, yaitu dengan melakukan penimbangan berat padi pada saat panen, dengan bidang seluas 2,5 meter x 2,5 meter secara acak.

Dari hasil panen pada luas bidang ini diperoleh produksi padi dengan kualitas GKP (Gabah Kering Panen) untuk luasan 6,25 meter persegi, sedangkan untuk mendapatkan produksi padi per hektarenya maka hasil survei ubinan tersebut dikalikan dengan 1.600 sehingga akan diperoleh produksi per hektare dalam bentuk Gabah Kering Panen (GKP).

Untuk mendapatkan produksi padi pada kualitas GKG (Gabah Kering Giling), maka berat padi kualitas GKP dikalikan konversi sebesar 88,46 persen (hasil Survei Konversi Gabah ke Beras 2018). Sedangkan untuk mendapatkan data produksi beras melalui survei yang sama dikalikan konversi 63,71 persen.

Sebagai contoh misal dalam survei ubinan diperoleh berat GKP 4,5 kg, maka diperkirakan produksi per hektare adalah 7,2 ton GKP yang kalau dijemur/dikeringkan menjadi 6,391 ton GKG dan bila digiling menjadi 4,071 ton beras.

Pada tahun 2019, Kementerian ATR/BPN menetapkan luas baku sawah nasional 2019 berdasarkan keputusan Menteri ATR/Kepala BPN No. 686/SK-PG.03.03/XII/2019, tanggal 17 Desember 2019, tentang Penetapan Luas Baku Sawah Nasional Tahun 2019 yaitu sebesar 7.463.948 hektare.

Luas baku sawah Provinsi Riau sebesar 62.689 hektare. Kalau dibandingkan dengan luas wilayah Provinsi Riau berdasarkan peraturan Menteri Dalam Negeri No 66 Tahun 2011 yang sebesar 8.702.366 hektare maka luas baku sawah di Riau hanya 0,72 persen (tidak sampai 1 persen).

Bila dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Sumatera, persentase lahan baku sawah di Provinsi Riau relatif kecil. Bandingkan dengan Provinsi Lampung 10,45 persen, Sumatera Selatan 5,14 persen dan Sumatera Barat 4,62 persen. Bahkan masih di bawah kepulauan Bangka Belitung yang sebesar 1,36 persen. Provinsi dengan persentase yang lebih rendah adalah Provinsi Kepulauan Riau sebesar 0,17 persen.

Berdasarkan luas baku sawah tersebut, Survei KSA tahun 2018 menghasilkan luas panen padi seluas 71.448,08 hektare, sedangkan tahun 2019 mengalami penurunan 11,63 persen menjadi 63.142,04 hektare.

Penurunan ini bukan tanpa sebab, seperti diketahui bersama bahwa cuaca tahun 2019 cukup ekstrim, dimana di beberapa wilayah terjadi banjir maupun kemarau yang relatif panjang. Bahkan di beberapa wilayah terjadi kebakaran lahan.

Pola panen padi di Provinsi Riau pada periode bulanan tahun 2019 relatif sama dengan tahun 2018. Puncak panen padi terjadi pada bulan Februari, sementara luas panen terendah pada bulan November.

Luas panen Februari 2019 sekitar 12 ribu hektare, sedangkan luas panen pada bulan yang sama tahun 2018 sekitar 13,5 ribu hektare. Penurunan ini diakibatkan terjadinya banjir di beberapa wilayah yang menyebabkan gagal panen.

Produksi padi di Provinsi Riau tahun 2019 sebesar 230,87 ribu ton GKG dan yang menjadi beras siap konsumsi sebesar 131,82 ribu ton.Angka ini tentu jauh dari harapan mencapai swasembada pangan mengingat konsumsi beras Provinsi Riau pada tahun 2019 mencapai 635,94 ribu ton. Artinya, terjadi defisit 504,09 ribu ton, atau baru sekitar 21 persen kebutuhan beras dipenuhi dari Provinsi Riau, sedangkan sisanya sekitar 79 persen diperoleh dari luar daerah.

Untuk mengurangi ketergantungan dari luar daerah, maka produksi harus ditingkatkan. Lalu bagaimana cara meningkatkan produksi?

Bila dilihat dari Nilai Tukar Petani (NTP) sub sektor tanaman pangan yang lebih rendah dari sub sektor perkebunan, memang merupakan tantangan tersendiri untuk meningkatkan produksi padi. Bila berhitung secara bisnis jelas budidaya sawit untuk saat ini memang lebih menggiurkan. Namun untuk menjaga stabilitas ketahanan pangan, produksi padi memang perlu ditingkatkan.

Guna meningkatkan produksi padi, maka ada 3 hal yang perlu diperhatikan; Pertama, luas baku sawah ini sedapat mungkin dipertahankan, jangan sampai tergerus oleh komoditas lain, atau istilah lain menjadi lahan sawah abadi.

Bahkan perlu dilakukan pencetakan lahan sawah baru serta mengotimalkan kembali beberapa lahan sawah yang mungkin terbengkalai, karena luas baku sawah kurang dari 1 persen jelas kurang memadai untuk mencukupi kebutuhan pangan. Misalkan dengan produktivitas 4 ton per hektare, dengan asumsi hanya sekali panen dalam setahun, maka untuk memenuhi kebutuhan pangan secara swasembada dibutuhkan luas sawah minimal sebesar 324 ribu hektare.

Tentu saja ini membutuhkan dana serta sarana prasarana yang tidak sedikit. Bila semua sawah mampu untuk dua kali panen, maka perlu 100 ribu hektar lagi lahan baru yang perlu dicetak.

Kedua, luas panen harus ditingkatkan. Bila diamati ternyata indeks panen tahun 2019 hanya 1,01, artinya mayoritas sawah hanya ditanami 1 kali. Sedangkan indeks panen 2018 ketika cuaca relatif lebih baik indek panen sebesar 1,14, artinya ada beberapa lahan yang dapat ditanami lebih dari dua kali.

Bila semua lahan dapat ditanami dua kali tentu produksi dapat meningkat. Bagaimana meningkatkan luas panen dalam satu tahun, itu yang perlu dipikirkan. Karena fakta di lapangan, banyak faktor yang menyebabkan sawah tidak ditanami lebih dari satu kali, seperti faktor cuaca, faktor air (terkait irigasi), atau faktor kultur budaya masyarakat (tanaman pangan tidak menjadi komoditas yang menarik untuk dijual).

Sistem pengairan yang baik dan ketersediaan air yang cukup merupakan faktor penunjang untuk meningkatkan luas panen. Peran penyuluh pertanian dalam hal ini sangat dibutuhkan.

Barangkali perlu dikaji penerapan teknologi budidaya padi salibu yaitu teknik menanam padi dengan memanfaatkan rumpun padi sisa panen sehingga dapat menekan biaya produksi, baik pengolahan lahan maupun biaya tanam.

Langkah ketiga adalah meningkatkan produktivitas padi. Rata-rata produkstivitas padi berdasarkan hasil ubinan adalah 4,1 ton/hektare GKP. Karena angka rata-rata berarti ada yang produktivitasnya di atas 4 ton/hektar dan ada yang di bawahnya. Berdasarkan hasil Survei Ubinan tahun 2019, angka produktivitas tertinggi mencapai 9 ton per hektare. Artinya ada peluang meningkatkan produktivitas. Bila produktivitas naik maka secara produksi padi akan naik.

Metode atau cara meningkatkan produktivitas padi, tentu dinas yang berkompeten terhadap masalah pertanian yang jauh lebih paham, baik dari pemilihan bibit, pemeliharaan sampai pada proses panen.

Meningkatkan produksi pangan terutama padi di Provinsi Riau merupakan suatu tantangan. Karena secara ekonomi, budidaya sawit lebih menggiurkan. Namun bila mengacu pada konsep ketahanan pangan, maka produksi tanaman pangan memang harus ditingkatkan. Secara besaran Nilai Tukar Petani (NTP) memang tanaman pangan lebih rendah dibanding NTP perkebunan.

Tapi, apakah selamanya kita akan bergantung pada provinsi lain dalam mencukupi kebutuhan pangan Apalagi di tengah badai virus corona yang bisa mengancam sistem distribusi barang, kemampuan untuk mencukupi pangan sencara mandiri harus segera diwujudkan. ***

Joko Prayitno adalah Kepala Bidang Statistik Produksi BPS Provinsi Riau.