SIAK - Kisruh lahan antara masyarakat di Kecamatan Dayun, Kotogasib dan Mempura dengan PT DSI (Duta Swakarya Indah) sejak tahun 1998 memang tidak pernah selesai. Dalam hearing yang berlangsung di gedung DPRD Siak, Selasa (23/2/2021) ditarik kesimpulan bahwa izin pelepasan kawasan hutan seluas 13.500 hektar pada 1998 silam yang dimiliki PT DSI sudah mati.

Hal itu ditegaskan Ketua DPRD Siak Azmi kepada sejumlah wartawan di ruang kerjanya usai hearing antara PT Duta Swakarya Indah (DSI) dengan Camat dari ketiga kecamatan, pihak BPN Kabupaten Siak, Bagian Pertanahan Kabupaten Siak dan sejumlah kepala desa. Ikut hadir juga Wakil Ketua DPRD Siak Fairus, Ketua Komisi II DPRD Siak Gustimar, Wakil Ketua Komisi II DPRD Siak Jondris Pakpahan.

"Memang tadi sebelum hearing dimulai, Masyarakat dari 3 kecamatan kita minta menunggu di luar. Karena kita ingin cepat menyelesaikan persoalan ini seperti harapan masyarakat. Apalagi tadi Direktur PT DSI Misno bersama rombongan juga hadir dalam hearing, kita tidak mau ada keributan. Dari hearing tadi kita simpulkan bahwa legalitas yang dimiliki PT DSI sudah mati," kata Ketua DPRD Siak, Azmi.

Azmi mengaku, dalam hearing meminta secara ril data dan dokumen perizinan PT DSI. Ternyata memang PT DSI tidak punya lagi legalitas atas izinnya atau izinnya sudah mati. Hal itu juga diakui oleh BPN. Sebelumnya PT DSI mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan seluas 13.500 hektar pada 1998.

"Kemudian Pemkab Siak memberikan izin lokasi sebesar 8.000 hektar. Namun sampai pada 2021 ini PT DSI hanya mampu mengelola seluas 2.700 hektar saja. Nah, harusnya setahun setelah mendapatkan izin lokasi, PT DSI sudah mempunyai HGU dan mampu mengelola lahan minimal 50 persen dari izin yang diberikan. Jika dalam waktu itu tidak bisa mengelola, makan izinnya akan mati dengan sendirinya. Jadi izin PT DSI yang sekarang itu tidak berlaku lagi," ungkap Azmi.

Ditambahkan Wakil Komisi II, Jondris, PT DSI seharusnya tidak melakukan intimidasi sekecil apapun terhadap masyarakat. Apalagi PT DSI tidak mempunyai alas hak atas lahan yang sampai sekarang dipertahankannya.

"Bahkan dari 2.700 hektar yang berhasil dikuasai PT DSI, 1.200 hektar merupakan lahan klaim masyarakat. Hanya bersih tinggal 1.500 hektar. Jadi PT DSI harus mengurus izin baru untuk penguasaan lahan yang dikuasainya saja yaitu 1.500 hektar. Kita desak juga PT DSI mendapatkan HGU untuk yang 1.500 hektar tadi, sisanya akan dikembalikan ke negara," kata dia.

Selanjutnya, masih kata Jondris, jika PT DSI berhasil mengurus HGU, maka ia akan memperoleh untung, Pemkab Siak juga mendapatkan pajak. Namun jika telah memiliki HGU maka wajib dikeluarkan 20 persen lahan plasma.

"Sepertinya tadi skema ini disetujui forum tinggal upaya penyelesaian lebih dalam. Kami menargetkan 2021 ini selesai konflik yang berkepanjangan ini. Kami juga akan dorong Pemkab Siak untuk segera menyelesaikannya," kata dia.

Azmi menambahkan lagi, ia akan berbicara kepada Bupati Siak Alfedri bahwa konflik masyarakat dengan PT DSI harus segera diselesaikan. Kepada pihak PT DSI juga disampaikannya agar tidak melakukan intimidasi kepada petani yang sampai saat ini masih memperjuangkan lahannya.

"Demikian juga kita sampaikan kepada para petani agar tidak melakukan tindak anarkis atau perbuatan melawan hukum lainnya. Ini sudah dalam proses penyelesaian," pinta Azmi.

Sementara itu Humas PT DSI Edi Sunarto mengatakan, hasil pengukuran ulang lahan tersebut memang 2.700 hektar. Namun 1.200 hektar di antaranya sudah diganti rugi namun masih disengketakan masyarakat. Tentunya pihak PT DSI tidak mau memberikan lahan yang sudah diganti rugi. Terkait izin yang dianggap sudah mati dengan sendirinya juga dibantah Edi.

"Bahasa yang mengatakan legalitas PT DSI sudah tidak ada itu adalah bahasa menyudutkan kami. Kita juga tidak mau terus berkonflik dengan masyarakat. Bahkan berniat baik untuk mencari jalan penyelesaian. Tapi tetap berupaya bagaimana penyelesaian konflik ini dapat dilakukan bersama-sama. Kami juga tidak ingin terus berkonflik," kata dia.***