DENNY Sanusi alias Denny Zhang yang kini menjabat sebagai Pelaksana Tugas Ketua Umum Persaudaraan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) mengucapkan dua kalimat syahadat pada malam menjelang akhir Ramadhan, setelah dirinya gemetar dan pingsan saat mendengar azan berkumandang di radio.

Dikutip dari Republika.com, tokoh Muslim Tionghoa yang kini berusia 60 tahun itu menuturkan, ia lahir dan tumbuh besar di keluarga yang menjalankan tradisi kebudayaan leluhur. Denny mengaku tidak begitu tertarik kepada Islam sejak kecil hingga remaja.

Namun, sejak kecil Denny tidak suka mengonsumsi daging babi. Padahal, di tengah tradisi budayanya sajian tersebut cukup mudah dijumpai.

''Pernah satu ketika saya dibohongi, kalau makanan yang sedang disajikan itu adalah sup sapi. Eh, ternyata sup babi! Setelah tahu itu, saya memuntahkannya. Sejak itu, keluarga saya tidak pernah lagi memberikan saya makanan yang mengandung daging babi,'' tuturnya beberapa waktu lalu.

Sayangnya, Denny kecil tumbuh bersama orang-orang terdekat yang menyimpan sedikit kecurigaan terhadap Islam. Kaum Muslimin kerap diidentikkan mereka sebagai orang terbelakang. Dalam penilaian simplistiknya, mayoritas orang Islam di Indonesia berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah dan bahkan papa. Imej terhadap penganut agama ini terkesan sangat buruk.

Hingga menapaki usia 20 tahun, Denny masih acuh tak acuh terhadap Islam. Malahan, sebenarnya ia tidak begitu mempedulikan kehidupan religius. Sehari-hari, rutinitas dilaluinya tanpa merasa perlu melakukan ritual atau ibadah.

Ia bercerita, hingga usianya belasan tahun yang diikutinya adalah budaya religi leluhur. Barulah setelah bersekolah di sebuah SMA keagamaan, dirinya pindah ke agama tertentu. Sebelum lulus dari sana, ia sudah dibaptis.

Saat menjadi mahasiswa, Denny mulai merasa perlu untuk menemukan kedamaian batin. Sebab, hidupnya mulai diwarnai kegelisahan. Biasanya, orang akan beralih kepada agama untuk menemukan kedamaian. Namun, Denny saat itu entah mengapa merasa sangat malas. Baginya, ritual apa pun tidak membawa ketenteraman hati.

Memasuki semester keempat, ia memiliki semakin banyak teman. Banyak di antaranya yang Muslimin. Sebagai pemuda yang kritis dan suka berpikir logis, ia sering mengajak beberapa kawannya untuk memperdebatkan iman atau agama.

Ada seorang dari mereka yang kemudian mengusulkan, bagaimana kalau Denny berdiskusi dengan seorang ustaz. Sebab, kata kawannya itu, pengetahuan tentang dasar-dasar agama dapat didengarnya melalui dai. Sederhana saja: tanyakanlah sesuatu kepada orang yang memang ahli dalam bidang itu. Maka, Denny pun menuruti anjuran temannya tersebut.

Sang kawan memperkenalkannya kepada ustaz yang dimaksud, sebut saja namanya Rahmat. Denny menangkap kesan, pendakwah ini suka dengan nuansa diskusi yang kritis. Baginya, ini suatu nilai tambah yang menyenangkan.

Denny pun mulai terbuka. Kepada Ustaz Rahmat, ia mengungkapkan, sebenarnya dirinya tidak berposisi menggugat eksistensi Tuhan. Ia meyakini bahwa Tuhan ada. Bahkan, menurutnya, doa-doa yang dirapalkan pun sesungguhnya berguna untuk menguatkan hubungan vertikal, yakni antara makhluk dan penciptanya.

Akan tetapi, lanjutnya, hingga saat itu ia merasa ragu untuk meyakini siapa Tuhan itu. Agama ini menyatakan itu. Agama lainnya menyebutkan yang berbeda. Sebagai manusia, bagaimana mengetahui mana yang benar atau kebenaran sejati itu?

Ustaz Rahmat tampaknya senang dengan penjabaran itu. Denny lalu dimintanya untuk tidak putus berdoa. 

''Ustaz itu menyarankan saya untuk berdoa kepada Tuhan dengan tidak perlu menyebut nama Tuhan berdasarkan agama. Cukup Tuhan saja. Lalu mintalah kepada Tuhan untuk ditunjukkan, agama mana yang dapat menyelamatkan diri ini di dunia dan akhirat,'' katanya mengenang.

Maka setiap hari, terutama menjelang tidur, Denny selalu memanjatkan doa kepada Tuhan. Ia berharap, Yang Mahakuasa dapat memberikannya petunjuk. Dari hari ke hari, perilaku Denny pun mulai menunjukkan sisi religiusitas. 

Kedua orang tua Denny memiliki sebuah perusahaan yang cukup sukses. Banyak karyawan Muslim yang bekerja di sana. Sebagai sang pemilik, ayah dan ibunya tidak menunjukkan sikap berat sebelah, apalagi mengintimidasi, para pekerja yang berlainan iman. Profesionalisme dan prestasi, itulah yang tetap menjadi tolok ukur, bukan identitas suku, agama atau ras.

Denny sempat bekerja di perusahaan kedua orang tuanya tersebut. Waktu itu, ia sedang dalam proses mengenal Islam lebih dekat. Menurutnya, tidak cukup dengan hanya mengandalkan diskusi bersama Ustaz Rahmat. Perlu pula untuk mengetahui bagaimana orang-orang Islam mengamalkan agama ini.

Maka, Denny sering memperhatikan bagaimana para pegawainya yang Muslim menjalankan kepercayaannya. Misalnya, ketika suara dari musala berkumandang--yang belakangan diketahuinya sebagai azan, apakah ada di antara mereka yang meninggalkan pekerjaan, untuk menunaikan ritual.

Bahkan, ketika Ramadhan tiba, Denny bertindak lebih jauh lagi. Dia merasa percaya diri untuk ikut-ikutan berpuasa. Para pegawai mungkin mengira, bos mereka hanya ikut acara-acara khas Ramadhan, semisal buka puasa bareng atau berbagi kepada anak-anak yatim di panti asuhan. Padahal, lelaki berdarah Tionghoa itu pun merasakan apa yang mereka rasakan, yakni menahan lapar dan dahaga sejak pagi hingga petang. 

Memasuki hari kelima bulan Ramadhan, Denny merasakan pengalaman yang sukar dilupakannya, bahkan sampai hari ini. Malam itu, suara azan terdengar dari menara-menara masjid di dekat rumahnya. Kumandang itu terasa syahdu. Tiba-tiba, dari radio yang disetelnya berkumandang pula panggilan azan. Akan tetapi, bagi Denny sendiri, suara azan di radio memberikan sensasi yang berbeda. Ia pun gemetar dan pingsan. 

Kejadian itu membuatnya banyak merenung. Akhirnya, pada hari-hari terakhir Ramadhan ia mengungkapkan pengalamannya kepada Ustaz Rahmat. Sang dai kemudian memintanya untuk tidak tidur pada malam itu. Tetaplah terjaga hingga subuh tiba. Selama waktu itu, fokuskan pikiran hanya untuk mengingat Tuhan.

Dia pun melakukan saran itu. Entah mengapa, di dalam kamar Denny merasakan keharuan yang besar dalam dadanya. Ada seperti kerinduan batin untuk menyapa-Nya. Malam itu juga, dia memutuskan untuk berwudhu dan bersujud. Tidak ada Tuhan selain Engkau, ya Allah, gumamnya dengan penuh yakin 

Keesokan harinya, Denny melaporkan apa yang sudah dialami dan dilakukannya tadi malam kepada Ustaz Rahmat. Sang ustaz lalu mengucapkan hamdallah. Barulah kemudian Denny mengetahui, malam itu diduga kuat sebagai Lailatul Qadar, malam yang penuh kemuliaan. Sebabnya dugaan itu, momen tersebut bertepatan dengan malam 27 Ramadhan. 

Ustaz Rahmat tidak mengajaknya menjadi Muslim, sang dai hanya menyarankan Denny bertanya kepada nuraninya yang terdalam. Sebelum Idul Fitri, tekad Denny pun sudah bulat untuk menjadi Muslim.

Setelah Lebaran, dia segera pergi ke rumah sunat untuk berkhitan. Beberapa hari kemudian, secara resmi dia mengikuti proses syahadat, yang disaksikan jamaah dan dibimbing ustaz.***