JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Investasi dan Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mengumumkan kepastian kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, yaitu Pertalite dan Solar pada minggu depan.

Opsi kenaikan diperlukan karena selama ini harga BBM di Tanah Air yang diterima masyarakat merupakan harga yang telah disubsidi oleh pemerintah atau dibawah nilai keekonomiannya. Namun disisi lain harga minyak dunia mengalami peningkatan.

"Minggu depan Presiden akan umumkan mengenai apa dan bagaimana kenaikan harga (BBM bersubsidi),” tutur Luhut saat memberikan Kuliah Umum di Universitas Hasanuddin secara virtual, Jumat (19/8).

Ia menjelaskan saat ini inflasi masih terkendali. Namun ia telah mengutus timnya untuk menghitung potensi dampak kenaikan inflasi apabila harga BBM Pertalite dan Solar dinaikkan. Hanya saja, Luhut tidak menyebutkan berapa kenaikan harga yang akan ditetapkan pemerintah.

Apalagi dalam menyikapi lonjakan harga energi, pemerintah pun telah menambah anggaran subsidi dan kompensasi energi senilai Rp 502,4 triliun atau naik Rp 349,9 triliun pada tahun ini dari anggaran semula Rp 152,1 triliun.

Oleh karena itu, ia menyebut dengan mendorong pengalihan kendaraan dari berbasis BBM menjadi kendaraan listrik, hingga penggunaan bensin campuran dari kelapa sawit B40 diharapkan dapat mengurangi beban subsidi.

"Bagaimana pun enggak bisa kami pertahankan terus demikian. Mengurangi pressure dari harga crude oil naik sekarang harga minyak lagi turun. Jadi kita harus siap-siap, karena subsidi kita sudah Rp 502,4 triliun, dan diharpakan ini bisa tekan ke bawah"ucapnya.

Adapun Luhut mengatakan, Presiden Jokowi sudah mengeluarkan berbagai indikasi terkait (harga BBM bersubsidi). Lantaran Presiden mengatakan tidak mungkin subsidi tersebut terus ditambah dan dipertahankan. "Presiden sudah indikasikan, tidak mungkin kita pertahankan terus. Kita ini harga BBM paling murah sekawasan ini, kita jauh lebih murah dari yang lain. Itu (subsidi BBM) terlalu besar kepada APBN kita,” jelasnya.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memperkirakan pemerintah akan menaikkan harga Pertalite menjadi Rp 10.000 per liter. Alhasil dampak kenaikan ini berpotensi mengerek laju inflasi 2022 hingga 6,5 persen (year on year/yoy). "Jika kenaikan harga Pertalite menjadi Rp 10.000 per liter, diperkirakan inflasi tahun ini tembus 6 persen-6,5 persen yoy. Dikhawatirkan menjadi inflasi yang tertinggi sejak September 2015," ujarnya.

Secara rinci, ia menjelaskan dampak kenaikan harga BBM bersubsidi akan mempengaruhi beli masyarakat akan menurun sehingga akan meningkatkan jumlah orang miskin baru.

Apalagi saat ini beban masyarakat cukup berat mulai dari kenaikan harga pangan yang inflasinya mendekati 5 persen. Di sisi lain, masyarakat masih belum pulih dari pandemi Covid-19, terbukti ada 11 juta lebih pekerja kehilangan pekerjaan, jam kerja dan gaji dipotong, hingga dirumahkan.

"Maka kalau ditambah kenaikan harga BBM subsidi dikhawatirkan tekanan ekonomi untuk 40 persen kelompok rumah tangga terbawah akan semakin berat. Belum lagi ada 64 juta UMKM yang bergantung dari BBM subsidi," jelas Bhima.

Efek lanjutan dari kenaikan harga BBM bersubsidi ini juga akan dirasakan bagi pelaku usaha UMKM. Sebab pengguna BBM subsidi ini bukan hanya kendaraan pribadi, tapi juga dipakai untuk kendaraan operasional usaha kecil dan mikro.

Meski demikian, ia mengakui kenaikan harga Pertalite memang akan meringankan beban APBN, mengingat anggaran subsidi dan kompensasi energi di tahun ini sudah membengkak jadi Rp 502 triliun. Seiring dampak langsung yang akan dirasakan, maka Bhima menyarankan pemerintah untuk meningkatkan dana belanja sosial sebagai kompensasi kepada orang miskin dan rentan miskin atas naiknya harga BBM bersubsidi. "Jadi ini ibarat hemat di kantong kanan, tapi keluar dana lebih besar di kantong kiri," kata dia. ***