JAM sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Jamilah (nama samaran) masih duduk termenung di pintu dapur rumahnya. Ada gundah gulana di hati Jamilah. Bagaimana tidak, pagi ini suaminya hanya memberi uang belanja sebesar Rp80 ribu.

Dengan bekerja sebagai buruh bangunan, yang kadang ada kadang tiada, nilai pemberian suaminya sebesar Rp80 ribu sangatlah besar. Diiringi gerimis yang belum juga mereda, Jamilah terbayang 5 tahun yang lalu. Dulu, uang Rp80 ribu masihlah lumayan jika pergi ke pasar. Dengan uang Rp80 ribu, setidaknya kebutuhan dapur sudah bisa tercukupi meskipun sederhana. Tapi hari ini, dengan uang sebesar itu, untuk minyak goreng dua liter saja sudah menghabiskan hampir Rp50 ribu.

Akhirnya, suara petir mengagetkan Jamilah, hingga membuat lamunannya buyar. Sebuah kenyataan hidup harus dia jalani dengan pasrah meskipun semua ini terasa berat.

Apa yang terjadi dengan Jamilah merupakan potret keresahan yang dialami masyarakat di negeri ini. Ironi memang, sebuah negeri yang konon katanya kaya raya dan merupakan negeri penghasil minyak CPO terbesar di dunia justru masyarakatnya harus menangis karena mahalnya harga minyak goreng.

Sebenarnya, untuk menstabilkan harga minyak goreng, pemerintah telah menggelontorkan dana sebesar Rp7,6 triliun, bahkan harga minyak juga sudah dipatok Rp14 ribu per liter. Akan tetapi, meskipun pemerintah telah berupaya secara maksimal, stok minyak goreng di lapangan juga masih langka, bahkan terjadi rebutan serta antrean yang sangat panjang hanya untuk mendapatkan minyak goreng tersebut.

Bak luka belumlah sembuh, kondisi semakin diperparah dengan kebijakan pemerintah menghapus kebijakan harga eceran tertinggi minyak goreng dan berakibat harga minyak goreng kembali merangkak naik bahkan menyentuh rekor harga tertinggi.

Menyoal mahal dan langkanya minyak goreng menunjukkan bahwa swasembada pangan hanya sebuah cita-cita yang belum tercapai. Berbagai program terus digulirkan dengan beragam istilah, namun nyatanya masihlah jauh panggang dari api.

Lantas apa yang harus dilakukan agar negeri kaya raya dan merupakan negeri penghasil minyak CPO terbesar di dunia ini mampu keluar dari mahalnya harga minyak goreng? Provinsi Riau merupakan provinsi dengan luas perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia serta mencatat pertumbuhan yang luar biasa.

Berdasarkan data Direktoral Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, luas kelapa sawit Riau pada tahun 2010 hanya berkisar 1,6 juta hektare, akan tetapi pada tahun 2021 jumlah tersebut mengalami peningkatan yang signifikan mencapai kisaran 2,86 juta hektare atau lebih dari 30 persen dari luas Riau. Bahkan konon katanya, masih ada sekitar 1,2 Juta hektare kelapa sawit yang ditanam di dalam kawasan hutan.

Luasnya perkebunan kelapa sawit di Riau sebenarnya merupakan sebuah potensi bagi negeri ini jika semua potensi tersebut dikelola secara bijak. Adanya kelangkaan serta tingginya harga minyak goreng di pasaran sebenarnya merupakan peringatan kepada kita bahwa campur tangan pemerintah pusat atau daerah terkait kelapa sawit serta turunannya merupakan keharusan.

Pertama, pemerintah telah menerbitkan Permenkeu No. 23-2022 tentang tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDPKS) yang mengatur terkait tarif pajak ekspor CPO terhitung 18 Maret 2022. Dengan adanya tarif pajak ekspor CPO terbaru ini, diharapkan menjadi sumber dana subsidi minyak goreng untuk masyarakat.

Permenkeu terbaru ini, perlu didukung oleh daerah dengan membantu mengawasi dan memastikan bahwa semua bisa berjalan sesuai dengan harapan.

Kedua, luasnya perkebunan kelapa sawit rakyat di Riau haruslah menjadi catatan bersama bahwa hal ini merupakan peluang yang perlu disikapi dengan bijak.

Berdasarkan data rilis Riau Dalam Angka 2022 yang bersumber dari Dinas Perkebunan Provinsi Riau, tercatat angka sementara tahun 2021, lebih dari 1,53 Juta hektare kelapa sawit yang dimiliki oleh masyarakat dan tersebar di seluruh kabupaten/kota di Riau.

Potensi ini harus menjadi catatan bersama, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota bahwa untuk mendirikan industri kelapa sawit beserta turunannya yang dimiliki pemerintah daerah bukanlah hal mustahil untuk dilakukan. Memang hal tersebut tidak mudah, namun jika pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota berkolaborasi bersama, maka industri kelapa sawit milik pemerintah daerah akan mudah untuk diwujudkan.

Ketiga, perlu adanya regulasi daerah yang mendukung terwujudnya industri kelapa sawit yang dimiliki pemerintah daerah, terutama dalam hal dukungan CPO dari pabrik swasta. Hal ini akan menjadi garansi operasional terkait kecukupan bahan baku pengolahan industri minyak goreng nantinya.

Satu hal yang pasti, terwujudnya industri kelapa sawit yang dimiliki pemerintah daerah harus mampu menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi daerah, baik dari sisi kontribusi maupun daya saingnya serta dapat merangsang pertumbuhan sektor-sektor lain sehingga bermanfaat dalam memacu perkembangan perekonomian daerah.

Keempat, adanya rumor yang beredar bahwa penimbunan minyak goreng dilakukan oleh produsen meskipun perlu dibuktikan kebenarannya, ternyata hal ini juga cenderung dilakukan oleh konsumen. Perlu adanya pembelajaran kepada masyarakat untuk tidak panik dan melakukan penimbunan(egois karena kekhawatiran) karena akan semakin membuat komoditas tersebut menjadi langka, dan ini bisa juga terjadi pada komoditas lain.

Bisa jadi stok minyak goreng yang awalnya cukup, namun karena konsumen atau masyarakat membeli di luar kebiasaan, akan mengakibatkan komoditas minyak goreng menjadi langka.

Akhirnya, mengingat begitu besarnya potensi kelapa sawit Riau dalam menggerakkan roda perekonomian, sudah selayaknya pemerintah daerah Riau secara bijak menangkap potensi tersebut demi semakin mensejahterakan masyarakat. Adanya kelangkaan serta tingginya harga minyak goreng di pasaran harus menjadi peringatan bahwa pemerintah daerah harus segera turun tangan dalam pengelolaan kelapa sawit beserta turunannya dengan mewujudkan industri kelapa sawit milik pemerintah daerah. Hal ini cukup beralasan mengingat sampai hari ini pengelolaan kelapa sawit serta industrinya cenderung dinahkodai oleh swasta.

Jika hal tersebut terwujud, setidaknya pemerintah daerah akan memiliki peluang dan mudah untuk menentukan harga minyak goreng untuk masyarakat, terutama untuk masyakat berpenghasilan rendah seperti Jamilah. Karena satu mimpi Jamilah, hanya ingin dengan penghasilan suaminya yang serba pas-pasan, mampu membeli minyak goreng dengan murah serta masih ada sisa untuk mencukupi kebutuhan dapurnya.

Semoga.***

Mujiono, SE adalah Statistisi Ahli BPS Provinsi Riau.