BULAN suci Ramadhan 1443 H yang jatuh pada bulan April tahun ini merupakan momen spesial bagi umat Muslim untuk menunaikan ibadah puasa. Sudah menjadi tradisi di bulan Ramadhan, adanya perubahan pola konsumsi di tengah masyarakat. Pasar takjil, konsumsi makanan dan minuman yang manis, serta persiapan kue menjelang Hari Raya Idul Fitri merupakan beberapa fenomena yang lumrah ditemukan pada bulan Ramadhan.

Momen ini juga identik dengan berkumpul bersama keluarga dan rekan saat berbuka puasa. Tentunya, perilaku konsumen yang berbeda dibandingkan bulan lainnya ini akan memengaruhi harga yang terjadi di masyarakat.

Peningkatan permintaan di bulan Ramadhan terjadi pada komoditas tertentu, seperti makanan, minuman dan pakaian. Permintaan yang meningkat ini, terkadang tidak dibarengi dengan suplai barang yang memadai, tentunya akan membuat harga barang cenderung meningkat.

Hal ini dijelaskan oleh teori permintaan dan penawaran dalam ekonomi, sehingga kondisi peningkatan harga pada bulan Ramadhan wajar terjadi akibat perilaku masyarakat yang memburu komoditas-komoditas tersebut secara bersamaan.

Kondisi kenaikan harga tersebut dapat ditangkap oleh indikator harga, yaitu inflasi. Fakta yang terjadi adalah nilai inflasi cenderung meningkat di bulan Ramadhan.

Jika berkaca pada bulan Ramadhan tahun 2021, perkembangan nilai inflasi Riau adalah sebesar 0,15 persen pada bulan April dan 0,08 persen pada bulan Mei. Pada bulan Ramadhan tahun 2020, ekonomi Riau justru mengalami deflasi 0,26 persen pada bulan April dan inflasi sebesar 0,54 persen pada bulan Mei.

Nilai inflasi tersebut masih tergolong moderat mengingat bahwa aktivitas ekonomi pada awal masa pandemi Covid-19 masih terbatas. Kondisi ini sesuai dengan arahan pemerintah kepada masyarakat untuk stay at jome, sehingga inflasi cenderung stagnan akibat pola konsumsi yang tidak berubah.

Pada bulan Ramadhan tahun 2019 dimana pandemi belum melanda, inflasi mencapai nilai 0,68 persen pada bulan Mei. Pola konsumsi yang berubah di bulan Ramadhan menjadi cikal bakal meningkatnya inflasi di waktu tersebut.

Bagaimana dengan Ramadhan tahun 2022 yang menunjukkan bahwa roda perekonomian sudah berputar? Nilai inflasi Riau pada bulan Maret 2022 adalah sebesar 0,9 persen. Nilai ini tergolong tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata inflasi bulanan pada tiga tahun sebelumnya yang hanya berada pada rentang 0,17-0,20 persen.

Beberapa penyebab di balik tingginya inflasi tersebut adalah keputusan pemerintah dalam meningkatkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan meningkatnya harga minyak goreng.

Kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau berkontribusi atas andil terbesar pada inflasi di bulan Maret 2022 dengan nilai sebesar 0,70 persen. Kondisi inflasi ini berpotensi untuk meningkat pada bulan selanjutnya bertepatan dengan bulan Ramadhan.

Presiden Joko Widodo pada konferensi pers pada 14 April 2022 lalu menyatakan bahwa Tunjangan Hari Raya (THR) Idulfitri untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) akan cair tahun ini, tentunya fenomena ini juga akan berkontribusi pada peningkatan konsumsi menjelang Idulfitri.

Berbagai kondisi yang mendukung peningkatan konsumsi masyarakat akan memicu peningkatan harga. Inflasi memang tidak dapat terelakkan seiring dengan perubahan konsumsi masyarakat yang terjadi, khususnya beberapa bulan terakhir ini.

Terdapat pihak yang diuntungkan atas inflasi yang tak terelakkan ini, mulai dari pelaku usaha makanan dan minuman takjil, hingga pelaku usaha perusahaan besar. Daya beli masyarakat yang tinggi menyebabkan roda perekonomian berputar hingga level perusahaan besar sekalipun. Dalam arti, perusahaan yang diuntungkan adalah perusahaan yang dapat meningkatkan harga produknya akibat lonjakan permintaan atas produk tersebut.

Di sisi lain, inflasi menjadi malapetaka bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah dimana harga kebutuhan pokok serba meningkat. Berdasarkan data World Bank, komposisi pengeluaran masyarakat berbeda-beda berdasarkan kelompok pendapatannya. Kelompok rumah tangga dengan pendapatan terendah di negara berkembang mengeluarkan sekitar 50 persen dari pendapatannya untuk makanan.

Sedangkan, kelompok rumah tangga dengan pendapatan tertinggi hanya menghabiskan sekitar 20 persen dari pendapatannya untuk makanan. Dengan kondisi harga yang melambung, proporsi pendapatan masyarakat miskin untuk makanan akan semakin meningkat, bahkan tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan lainnya.

Intervensi pemerintah merupakan jalan untuk mengendalikan inflasi yang terjadi. Tekanan inflasi dapat mendorong peningkatan perputaran uang, namun intervensi pemerintah dibutuhkan untuk memastikan bahwa sumber perputaran uang juga berasal dari masyarakat di kelompok pendapatan rendah dan daya beli kelompok masyarakat tersebut juga tinggi.

Dalam mengatasi isu belakangan ini, pemerintah telah menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng kepada keluarga miskin yang terdaftar dalam berbagai program pemerintah. Selain itu, peningkatan harga beberapa jenis BBM diharapkan dapat membuat kelompok masyarakat tidak berpindah ke BBM subsidi agar alokasi subsidi BBM dapat lebih tepat sasaran.

Akhirnya, inflasi yang tinggi memang tidak dapat terelakkan jika pola konsumsi masyarakat berubah. Pemerintah dapat berkontribusi dalam menjaga stabilitas inflasi melalui monitoring harga komoditas pokok dan memastikan ketersediaan pangan.

Intervensi melalui penyaluran BLT minyak goreng dan sasaran subsidi BBM yang disinggung sebelumnya juga dapat membantu pemenuhan kebutuhan bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah. Peran perusahaan juga dibutuhkan untuk meningkatkan produksi komoditas yang dibutuhkan, dan menghindari aksi menimbun produk.

Tindakan penimbunan suatu produk dapat menyebabkan kelangkaan produk dan meningkatnya harga. Inflasi tersebut tidak selamanya buruk, asalkan adanya kesadaran berbagai pihak seperti pemerintah dan perusahaan untuk dapat memastikan bahwa kebutuhan setiap kelompok masyarakat terpenuhi, khususnya di bulan Ramadhan ini.***

Jesica Nauli Br Siringo Ringo adalah pegawai Badan Pusat Statistik Kabupaten Pelalawan.