SELATPANJANG - Sebagai negara yang dilalui garis khatulistiwa, Indonesia kaya akan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya energi (SDE). Tetapi, daya eksplorasi terhadap energi terbarukan itu masih jauh panggang dari api.

Kata Elviriadi, saat ini di Indonesia masih mengandalkan bahan bakar fosil seperti batu bara, sehinga lingkungan hidup makin hari makin tergerus. Sudah saatnya bergeser ke tenaga angin, tenaga ombak, tenaga surya seperti di Desa Gajah Bataluik Kampar Kiri Hulu.

"Apalagi minyak bumi, batu bara, adalah penghasil karbon dioksida yang mengakibatkan global warming dan perubahan iklim," kata Elviriadi saat berbincang-bincang dengan GoRiau, Senin (5/2/2108).

Kata Elviriadi lagi, setidaknya ada 3 faktor penyebab Indonesia masih konvensional dalam alih energi, diantaranya;

Soal kinerja Kementerian ESDM yang tak bisa all out. Politik energi di Indonesia masih diwarnai conflict of interest. Pertamina selalu kelimpungan, bukan soal manajemen dan SDM tapi budaya organisasi yang labil.

Kedua, disorientasi dalam transformasi energi. Artinya, kalau mau garap energi terbarukan, kerahkan semua kekuatan. "Regulasi, MoU yang bermartabat, pakai tenaga expert kita yang lari ke Saudi dan Amerika," ujarnya.

"Orang di Belanda sejak 2007 sudah pakai pembangkit listrik tenaga taik ayam. Riau yang kaya limbah sawit kan bisa buat biogas," tambah Elviriadi.

Yang terakhir, kata pengurus Majelis Nasional KAHMI itu lagi, integritas dan keluhuran adalah syarat utama bagi kinerja Kementerian ESDM, Pertamina, Dewan Energi Nasional dan stakeholder masyarakat untuk menumbuhkan jiwa mengabdi dan kerja keras.

"Indonesia sudah kuat, hanya saja transformasi energi berubah menjadi transformasi hedonisme dan berlomba hidup mewah. Jauh dari prinsip the funding father republik," katanya di akhir bincang-bincang. ***