JAKARTA - Mereka bukan pengacara. Mereka bahkan bukan sarjana hukum. Namun mereka memiliki kemampuan memberi konsultansi hukum dan mediasi kepada masyarakat yang menghadapi konflik antarwarga, antardesa, antara masyarakat dan pemegang konsesi, dan instansi pemeringah. Mereka adalah paralegal di desa-desa di lahan gambut.

Sejak Oktober 2017, Badan Restorasi Gambut (BRG), bekerjasama dengan Pusat Diklat SDM Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Epistema Institute dan International Development Law Organization (IDLO) menyelenggarakan rangkaian Diklat Dasar dan Lanjutan untuk mediasi konflik dan paralegal.

Diklat bertujuan mencetak praktisi mediasi dan paralegal di desa/kelurahan yang berada di bawah program Desa Peduli Gambut.

Sebanyak 150 warga mengikuti pelatihan yang diselenggarakan di Pekanbaru untuk wilayah Sumatra, dan Samarinda untuk wilayah Kalimantan.

Myrna Safitri, deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG, mengatakan paralegal bisa mencegah, atau mengurangi, konflik yang berpotensi mengganggu pelaksanaan restorasi gambut.

"Kami sedang merestorasi lahan gambut seluas 2,4 juta hektar. Di lahan seluas itu kami menemukan konflik masyarakat dengan perusahaan, konflik antardesa karena batas yang tidak jelas, dan lainnya,” kata Myrna Safitri.

Kemampuan pemerintah dan LSM, menurut Myrna, terbatas. Inilah, lanjutnya, yang mendorong BRG menyelenggarakan pelatihan paralegal.

"Kami melatih warga menjadi mediator konflik internal, negosiator konflik dengan pihak luar, dan membantu masyarakat yang menghadapi masalah hukum,” kata Myrna. “BRG menjalankan fasilitasi resolusi konflik, tapi harus didukung masyarakat.”

Tri Joko Mulyono, kepala Pusdiklat SDM KLHK, mengatakan pihaknya membangun system resolusi konflik secara professional. Kekuatan pelatihan ini, katanya, adalah standar kompetensi yang jelas dan ketersediaan pengajar yang kompeten.

Pelatihan ini juga bagian Proyek Indonesia-Belanda untuk Negara Hukum (Indonesia-Netherlands Rule of Law Fund) yang dikelola Epistema Institute dengan dukungan IDLO dan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Indonesia. Masyarakat yang mengikuti pelatihan membentuk Asosiasi Praktisi Mediasi Konflik dan Asosiasi Paralegal Gambut.

Paralegal di desa-desa di lahan gambut sejalan dengan program Desa Sadar Hukum yang dibina Kementerian Hukum dan HAM. Untuk mewujudkan hal ini, BRG membangun koordinasi dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional. Diharapkan, desa-desa gambut yang dibina BRG menjadi Desa Sadar Hukum.

Sebelumnya, dalam konferensi pers akhir tahun 2017, kepala BRG Nazir Foead mengatakan restorasi gambut bukan sekadar pembasahan dan penanaman kembali lahan gambut yang rusak, tapi juga memberdayakan masyarakat. Pelatihan paralegal adalah bagian penting pemberdayaan masyarakat. ***