SERDANG BEDAGAI - Bata ringan Aerated Autoclaved Concrete (AAC) hadir sebagai jawaban membangun rumah dengan waktu yang relatif singkat, apalagi di masa pandemi saat ini. Bata ringan diyakini sebagai solusi praktis dan tentunya menghemat anggaran.

"Disamping efisien waktu dan biaya, pengerjaannya 3 kali lebih cepat dan rapi, karena besarnya dimensi dan presisinya lebih baik daripada bata merah," ujar CEO Litecon Iwan Tirta dalam sebuah wawancara dengan awak media di Serdang Bedagai, Minggu (3/1/2021).

Menurut Iwan Tirta, bata ringan ini memiliki dimensi 60 cm x 20 cm dengan ketebalan 10 cm. Inilah yang mereka produksi di lokasi pabrik yang terletak di Jalan Socfindo, Kabupaten Serdang Bedagai.

"Kalau bata merah, memiliki dimensi 8 cm x 17 cm dengan ketebalan 4 cm atau memiliki bobot seberat 1,5 - 1,7 kg. Bata ringan ini pastinya lebih ringan sepertiga dari bata merah. Makanya, bata ringan ini lebih tidak membebani struktur bangunan, sehingga dapat dikatakan lebih anti gempa," terangnya.

"Meskipun ringan, namun untuk kekuatan tak perlu diragukan lagi," timpalnya kembali.

Mengenai sejarah, kata Iwan, bata ringan AAC ini kali pertama dikembangkan di Swedia pada tahun 1923 sebagai alternatif material bangunan untuk mengurangi kerusakan lingkungan khususnya penggundulan hutan. Bata ini pula yang dikembangkan oleh Joseph Hebel di Jerman pada tahun 1943.

"Dalam hal Kecepatan pemasangan bata ringan ini, pekerja mampu menyelesaikannya hingga 2 x 10 meter per hari. Sedangkan bata merah sendiri tidak sampai 7 meter atau seminimnya 6 x 2 meter atau terjadi perselisihan 4 meter dibanding bata ringan. Kalau kita kalkulasikan dengan upah tukang seharga Rp150.000 per harinya, maka pemasangan bata ringan ini cukup ekonomis," jelasnya kembali.

Lebih detilnya lagi, imbuh Iwan, jika memasang bata ringan dengan luas rumah 200 m2, maka terjadi penghematan upah sebesar Rp2 juta dibandingkan pemasangan bata merah.

Untuk plesteran, Iwan memaparkan, penggunaan bata merah akan banyak menggunakan semen. Di mana, plesteran bisa memiliki ketebalan 2,5 cm. Tapi dengan bata ringan, ketebalan plesterannya cukup 1 cm saja.

"Ini karena permukaan per biji bata merah tidak merata. Berbeda dengan bata ringan yang presisi, seragam dan rata, sehingga kebutuhan semen jauh lebih sedikit," bebernya.

Bata ringan ini diproduksi dengan menggunakan bahan baku berupa semen, silika, gypsum, kapur dan aluminium pasta. Pembuatannya dimulai dengan proses pencampuran dari semua bahan yang telah dipersiapkan dan selanjutnya dituangkan ke dalam cetakan untuk proses pengembangan.

"Setelah bata mengembang dan setengah keras, maka bata akan dipotong sesuai dengan ukuran yang diinginkan dan kemudian dimasukkan ke dalam mesin autoclave (sejenis oven pengering) selama beberapa jam. Proses dengan mesin ini akan menghasilkan kekuatan untuk bata ringan. Proses produksi kita juga lebih ramah lingkungan dan lebih rendah emisi karbon dibandingkan proses produksi bata merah," jelasnya.

Di akhir wawancara, Iwan Tirta ingin mendorong dan menginspirasi semua pihak untuk turut serta menghasilkan produk-produk material yang berkualitas tinggi, namun tetap ramah terhadap lingkungan.

"Pastinya produksi yang kita jalani ramah lingkungan. Ketika kita ramah terhadap lingkungan, maka alam juga akan lebih bersahabat," tutupnya.