JAKARTA – Pemerintah Aceh diminta memanfaatkan kondisi pandemi Covid-19 untuk melobi Arab Saudi agar memberikan kuota haji secara terpisah kepada Aceh, di luar kuota nasional. Jika dapat kuota khusus, maka daftar tunggu haji Aceh yang kini mencapai 29 tahun bisa dipangkas lagi.

Hal itu disampaikan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Aceh, Muhammad Fadhil Rahmi menyusul pemerintah sudah membatalkan pengiriman jamaah Indonesia pada penyelenggaraan haji 2020 akibat wabah virus corona.

"Karena tahun ini pemerintah Arab Saudi tidak menerima jamaah haji dengan alasan Covid-19, ini menjadi momen bagi Aceh untuk mewujudkan rencana tadi. Aturan disiapkan dan mungkin lobi untuk kuota haji terpisah. Ini memungkinkan karena kita memiliki histori tersendiri dengan Arab Saudi," kata senator lulusan Al Azhar Kairo ini di Banda Aceh, Senin (15/6/2020).

Menurut pria yang akrab disapa Syech Fadhil, Aceh bukan sesuatu yang asing bagi Arab Saudi. Aceh memiliki aset di Makkah berupa Baitul Asyi atau rumah orang Aceh yang merupakan wakaf dari ulama Aceh Abdurrahman Bin Alwi Al-Habsyi atau lebih dikenal dengan Habib Bugak Al-Asyi.

"Salah satunya mungkin melalui Baitul Asyi di sana. Jadi berbicara Aceh tak asing. Yang perlu sekarang adalah bekerjasama para pihak-pihak terkait di Aceh," ujarnya.

Fadhil juga meminta pemerintah menyempurnakan regulasi yang memungkinkan Aceh memberangkatkan jamaah haji secara independen atau terpisah dari nasional. "Hal ini merujuk pada Undang Undang Pemerintah Aceh, Pasal 16 poin 2 huruf e," ujar anggota Komite III DPD RI yang membidangi agama.

Pada Pasal 16 poin 2 disebutkan,”urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain meliputi (a) penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama, (b) penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam, (c) penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan local sesuai dengan syari’at Islam, dan (d) peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh.

Kemudian pada poin (e) disebutkan,'penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan perundangundangan'. "Jadi poin ini memungkinkan untuk kita untuk melaksanakan keberangkatan jamaah haji secara independen," katanya.

"Legislatif dan eksekutif Aceh bisa menyempurnakan regulasi yang sudah ada maupun yang masih kurang untuk lebih optimal pada tahun depan. Harapannya Raqan (rancangan qanun) Haji dan Umrah yang sedang disiapkan sekarang harus fokus untuk mengejewantahkan isi pasal 16 Undang-Undang PA tersebut, jangan hanya sebagai raqan yang menjiplak UU Haji regulasi nasional," ujarnya.***