Dengan rasa egois Aisya membuka pintu gerbang rumahnya, ia masuk dan menguncikannya. Syarief yang berdiri di luar gerbang, ia mencoba menyaksi kelakuan Aisya yang egois, sambil tangannya menggenggam jari-jari gerbang. Aisya pun membalas tatapan Syarief, dengan mata indahnya yang berkaca-kaca, karena kini ia terpaksa harus menghancurkan hati laki-laki yang ia cintai dan mencintainya, laki-laki yang ia sayangi dan menyayanginya, yang setia menemaninya selama ini.

“Aisya jangan nangis!” kata Syarief lembut. “Apa yang terjadi? kasih tau kakak kenapa?” Sambung Syarief dengan tergesa-gesa, ia tak ingin melihat Aisya meneteskan air matanya. Kaca-kaca di mata Aisya pun pecah, mengalir, dan menetes di atas kitab yang ia peluk, seraya Aisya berkata, “Kakak gak salah apa-apa, tapi kakak jangan cintai Aisya lagi, sekarang kakak harus pergi!” “Aisya… kenapa harus begini?” “Pergilah kak…” kata Aisya lembut, sambil berpaling untuk masuk ke rumahnya. Syarief masih berdiri sambil menyaksikan Aisya, dengan wajah yang sedih, karena hubungannya sama Aisya sudah berakhir, tanpa alasan yang pasti. Lalu Syarief pun meninggalkan rumah Aisya, berjalan berlahan dengan membawa segunung kesedihan yang menggoncang dadanya, rasa-rasanya ia hendak berteriak memanggil nama Aisya dengan keras, ia takut besok ia tidak bisa lagi menampilkan senyuman Aisya kepada dunia, bahkan, ia harus menampilkan tangisan dirinya kepada dunia. Sementara Aisya, ia masuk ke kamarnya, dan memeluk gulingnya, bersama air mata di pipinya, ia menyesali akan perkenalan yang sudah berlangsung berbulan-bulan, hatinya kembali berkata dalam isak tangisnya. “Kakak... maafkan Aisya ya kak..., kakak harus bisa menerima kenyataan ini”. Malam itu dengan lemah gemulai, Syarief duduk di depan rumahnya yang sedikit dari cahaya lampu, sambil menatap bintang yang pernah ia perlihatkan kepada Aisya, dan melihat cincin pemberian Aisya yang masih melingkar di jari manisnya. Sementara Rival yang sedang berada di dalam rumah, ia heran kenapa Syarief gak masuk-masuk? Lalu ia pun keluar untuk menemuinya, ia lihat Syarief duduk dan terdiam, ia pun mendekatinya, duduk di sampingnya. ”Ada apa dengan kakak?” tanya Rival. Syarief hanya diam, dan Rival tau bahwa Syarief sedang dalam masalah, maka ia bertanya kembali. “Ada apa dengan kakak?” Mendengar kata-kata itu, mata Syarief mulai berkaca-kaca, karena ia merasa kalau kisah Aisya sudah berakhir, dulu ia selalu membanggakan diri di depan Rival, sebab ia bisa dicintai oleh Aisya, tapi sekarang Aisya sudah pergi, sehingga ia tidak lagi bercerita tentang Aisya kepada Rival. “Aisya sudah pergi Val!“ kata Syarief. “Pergi ke mana?” tanya Rival. “Dia sudah mengakhiri hubungan ini!“ “Alasannya?” “Gak tau, Aisya cuma bilang kalau kakak tidak bersalah!” Lalu mereka terdiam sejenak sambil berfikir dalam-dalam, “kenapa begini?” lalu Rival berkata, sambil menepuk bahu Syarief tanda kasih sayangnya. “Yasudah… besok kita selesaikan,  yuk kita tidur dulu, kak!“ Syarief dan Rival pun bangun, dan masuk ke kamar mereka. Malam itu Syarief tidak tau harus berbuat apa, yang bisa ia lakukan hanyalah memegang penanya dengan buku notanya yang pernah ia tulis kisah cintanya bersama Aisya, sesekali ia melihat Rival yang sudah tertidur lelap di tempat tidurnya. Mulailah ia membaca kisahnya, dari pertama ia melihat Aisya, ketika ia bersilaturrahmi ke rumah Bu Aini, malam itu Aisya yang menghidangkan air untuknya, terakhir sampai Aisya pamit kepadanya untuk pulang ke desanya sebentar, maka Syarief pun tersenyum dalam tangisannya. Lalu ia buka lembaran baru untuk menulis kejadian malam ini, tapi ia tak mampu menulisnya, karena terlalu sakit untuk di kenang, maka ia pun menulis kata-kata yang tak bertujuan, kadang-kadang dengan kasar ia menyoret-nyoretnya, akhirnya ia tertidur bersama buku dan penanya.