Besok harinya dalam suasana sore yang mendung bersama gerimis, Syarief baru saja menyelesaikan proses pengajarannya untuk hari ini, tanpa adanya Aisya lagi, sedih masih menyelimuti hati, peristiwa semalam baginya bagaikan satu mimpi, yang terbawa sampai sore hari.

Maka Syarief ke rumahnya Aisya untuk menuntut alasan atas kata perpisahan yang diucapkan Aisya semalam, karena hatinya belum bisa menerima kenyataan. Namun sayangnya, ia tidak mendapatkan jawaban, Aisya hanya sibuk beres-beres rumah tanpa menanggapi perkataannya. Selesai Aisya membereskan rumahnya, ia pun keluar dan pergi meninggalkan Syarief, tiba-tiba terdengarlah suara dari belakang. “Syarief... ke sini dulu!” suara Bu Aini dari ruang belakang yang memanggil Syarief, lalu ia pun ke belakang untuk memenuhi panggilan Bu Aini, yang mana Bu Aini  sedang sibuk dengan masakannya, ia pun duduk di meja makan, Bu Aini yang biasanya memandang Syarief dengan senyum bahagia, tapi kali ini tidak,  bahkan Beliau  tidak menatapnya. “Syarief benar mencintai Aisya?” tanya Bu Aini. Hati Syarief gemetar oleh pertanyaan Bu Aini yang tidak biasa, membuat Syarief jadi salah tingkah. “Kami gak pacaran Bu, kami hanya berteman!” jawab Syarief dengan sangat-sangat takut, karena sudah lama ia menyembunyikan hubungannya dengan Aisya dari Bu Aini, tapi kini Bu Aini yang menanyakannya. “Syarief... kamu itu sudah Ibu anggap sebagai anak Ibu sendiri, dan Aisya itu anak Ibu juga, artinya kalian itu adik dan kakak, namun di mata orang lain kalian itu gak ada apa-apanya, Aisya bukan saudaramu..! jadi tidak sepatutnya kalian berdekatan!“ Syarief hanya bisa mendengar dan menundukkan kepalanya, seakan-akan ia sedang berada dalam penjara. “Ibu... Ibu memang hanya orang biasa, tapi Ibu di segan oleh orang-orang di sini, jadi betapa malunya Ibu ! jika Ibu mendengarkan kata-kata buruk dari mereka, karena ulah kalian berdua. Jadi Ibu tidak mau mendengarkan kalian pacaran, kalau memang kalian pacaran, sekarang Ibu akan nikahkan kalian!” “Jadi Ibu tegaskan, kalau Ibu dengar, Syarief, Aisya, pacaran, maka Ibu akan menikahkan kalian!” “Ingat Syarief! ini bukan kampung halaman Ibu, apakah Syarief rela melihat Ibu diusir dari desa ini, hanya karena ulah kalian berdua?” Syarief hanya diam dengan perasaan gemetar. “Jawab Syarief!” tegas Bu Aini. “Tidak Bu!” jawab Syarief pelan. Barulah Bu Aini duduk di depan Syarief, beliau mencoba mengobati luka di hati Syarief, karena kata-kata beliau tadi, seraya beliau berkata dengan pelan. “Sebenarnya Ibu tidak tau, bahkan Ibu tidak menduga begini kejadiannya, kemarin Aisya yang bercerita kepada kakaknya, bahwa nama kalian sudah jadi bahan bicara teman-temannya di sekolah, bahkan satu sekolah!” “Dan Ibu tau, siapa yang melakukan semua ini!” lanjut Bu Aini sambil mengalih pandangannya ke kiri, dengan hati yang geram. “Jangan kasih tau Aisya, kalau Ibu baru saja memarahi Syarief, Ibu takut dia terbeban dan tidak mau tinggal di sini lagi. Ibu harap jangan besar-besarkan permasalahan ini, dan Ibu kira kalian sudah dewasa, Ibu kira waktu belum terlambat, jadi mulai sekarang Syarief jangan dekati Aisya lagi, jangan temui dia lagi, kalau ngak ada Ibu di sisi kalian berdua, sebagai Mahram Aisya. Ini bukan peraturan Ibu, tapi peraturan Agama, Ibu rasa Syarief lebih mengerti, dan Ibu harap, Syarief bisa mengerti dengan maksud Ibu!” lanjut Bu Aini. “Ia Bu.” jawab Syarief lembut. Ia tak mampu menatap Bu Aini, karena malu dengan rasa salahnya, bahkan ia enggan untuk meminta ma’af.