Syarief bangun dan pulang dengan langkahnya yang terasa lemah, badannya terasa berat, seakan-akan ia berlangkah dalam gelapnya malam, yang di terjang oleh badai, yang sesekali ia tersandung oleh kerikil yang tajam, langit pun runtuh, dan menghantamnya, begitulah masalah yang ia hadapi kini, apalagi ditambah dengan hubungan cinta yang diakhiri oleh Aisya semalam.

Sementara Bu Aini hanya bisa duduk dengan termenung, karena dulu beliau selalu bangga dengan Syarief, tapi hari ini beliau sangat kecewa dengannya. Sesampai Syarief di rumah, ia masuk ke kamarnya dan bersandar di balik pintu kamarnya bersama deraian air mata yang mengalir di pipinya. Karena kini Syarief terpaksa menanggung rasa sakit sendiri tanpa Aisya tau apa yang Syarief rasakan. “Betapa indahnya satu cerita jika ada badai yang melanda, kita tempuh bersama, sampai suatu sa’at nanti kita akan sampai pada detik-detik yang dijanjikan, rintangan suatu lumrahnya dunia, air mata bertanda perjalanan sudah sampai di penghujung cobaan, tapi sayangnya ceritaku bukan begitu“ pikir Syarief. *** Pada malamnya, seperti biasa Syarief kembali belajar, dengan langkah yang masih terasa berat, karena mengingat peristiwa tadi sore bersama Bu Aini. Sesampai di sana, ia duduk di halaman persantren, sambil melihat santri-santri kecil yang bercanda dan berlarian bersama kawannya, rasa-rasanya ia ingin bermain bersama mereka. ia ingin kembali kepada masa lalu, kepada masa kecil sebelum ia mengenal cinta, ketika ia masih belajar sama Bu Aini di TPA, yang mana dulu ia adalah satu-satunya murid yang paling Bu Aini sayangi, ia selalu mendapatkan perhatian, dan kasih sayang darinya, yang tidak jauh beda seperti anak kandungnya sendiri. Masih jelas di matanya ketika Bu Aini merangkul bahunya dengan kasih sayang, mengajarkan tentang sembahyang, kepadanya, dan kepada anak Bu Aini sendiri, di mana Syarief selalu menjadi imam, begitulah kasih sayang Bu Aini kepadanya sejak ia kecil, tapi setelah ia dewasa, ia hanya bisa menghancurkan hati Bu Aini, hanya karena cinta dari keponakan Bu Aini sendiri. Tiba-tiba salah satu dari santri cilik tersebut, mendekati Syarief, yang asik melihatnya dari tadi. “Kakak, Abia  mencari kakak!” kata santri itu. “Di mana?” tanya Syarief kaget. “Tadi di sini, mungkin sudah masuk ke rumah.” “Ia, terimakasih ya!” “Ia, sama-sama.” Syarief pun bangun, untuk menuju rumah Abia, ia berkata kepada dirinya sendiri, “Ada apa ya? Ya Allah jangan kau tambahkan masalah dengan masalah.” Dengan perasaan takut, Syarief melangkah masuk ke rumah Abia, di mana Abia sedang duduk sambil membaca kitabnya. “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumsalam.” jawab Abia pelan. Syarief mendekati Abia, seraya bersalaman dengannya dan mencium tangannya, lalu ia duduk dengan sopan di depan Abia dengan dadanya yang bergetar. “Abia memanggil saya?” tanya Syarief. “Ia, mulai malam ini kamu tidak usah belajar lagi” Mendengar kata-kata itu, jatungnya memompa dengan kencang, ia takut Abia akan mengeluarkannya dari pesantren karena mendekati Aisya selaku wanita yang bukan Mahram baginya. Ia cepat-cepat bertanya. “Kenapa Abia?” tanya Syarief takut. “Karena mulai malam ini kamu mengajar di kelas Tajhiji. “ Syarief menghelakan nafasnya yang mendesak dari tadi sambil berfikir sejenak. “Baik, tapi kenapa saya? Kenapa bukan Aisya? ia kan pandai juga Abia.” tanya Syarief. “Ia, dia itu pandai, bahkan ia persis seperti Rahmi, kakaknya yang dulu belajar di sini juga, tapi lebih baik kamu, kamu itu persis Al-Marhum bapakmu, bapakmu Ustaz, dulu kami satu tempat belajar Agama, karena bapakmu memiliki ijazah, maka beliau bisa melanjutkan perkuliahannya di PERTIM  Kota Lhokseumawe, Sehingga beliau bisa mendirikan pesantren, dan setiap paginya beliau mengajar Agama di sekolah, Dan sekarang giliran kamu, semoga kamu juga bisa menjadi seorang Ustaz yang sukses seperti bapakmu.” Syarief menunduk mendengar kisah bapaknya, ia pun berfikir, kenapa aku tidak seperti dirinya?. “Ia sudah, mengajarlah sana!” lanjut Abia. “Ia Abia.” Syarief mencium tangan Abia kembali dan melangkah untuk keluar. Tiba di luar ia bersyukur. “Alhamdulillah, bukan kabar buruk.” Tiba-tiba ia kembali mengingat Aisya, ia kembali mengingat akan do’a yang pernah ia titip pada Aisya, dan do’a Aisya yang pernah tertitip padanya.  Namun karena Syarief tidak bisa mendekati Aisya lagi, maka ia hanya bisa melihatnya dari jauh, yang mana Aisya sedang duduk di tangga sendirian, rasa-rasanya Syarief ingin mendekati Aisya, duduk di sampingnya, dan menceritakan tentang Abia, yang malam ini menyuruhnya untuk mengajar, namun Syarief sadar bahwa musim sudah berganti. Kemudian Syarief pun memapalingkan langkahnya untuk mengajar, yang mana ia mengajar di kelas Tajhizi, dengan rasa senang dalam dirinya.