Syarief yang melihat Aisya ketakutan, menurunkan pisaunya. Namun ia keasyikan memandang Aisya dengan hatinya yang berdebar karena dapat melihat Aisya dari dekat. Di matanya kini Aisya ternyata sangat cantik. Tak lama kemudian Aisya merasa nyaman, karena tidak terjadi apa-apa, seraya ia membuka matanya dan melihat ke arah Syarief, sambil perlahan, ia menarik tangannya kembali.

“Gak papa… kakak gak butuh balasan, tapi kakak hanya butuh Aisya untuk kakak!” kata Syarief sambil melontarkan senyuman kepada Aisya. Mendengar kata-kata itu, Aisya tersenyum dan tersipu malu, sambil ia lihat ke bawah. Karena malu kepada Syarief yang ia sangka, bahwa Syarief mulai jatuh cinta kepadanya, sedangkan ia gak punya perasaan apa-apa buat Syarief.

“Mintalah kepada orang tua Aisya, kak!“ “Insya Allah Sya!” jawab Syarief senyuman. Tiba-tiba Ustadz datang dan Syarief pun pindah dari dekat Aisya ke tempatnya. “Aisya... coba ulangi pelajaran malam kemarin!“ kata Ustadz sambil duduk. Aisya langsung melihat ke arah kitab yang terbuka di depannya, hatinya mulai ketakutan, karena tadi sibuk mengobati luka di tangan Syarief, sehingga ia tidak sempat mengulang. Maka Aisya pun mulai membaca kitabnya yang terdengar bertatih dan gagap, hingga akhirnya terhenti.

Sementara Syarief yang melihat Aisya terdiam, ia tau bahwa Aisya gak tau lagi harakat matan selanjutnya, maka Syarief mencoba mengajarinya sedikit demi sedikit, satu kalimat demi satu kalimat sampai habis. Hati Aisya sangat bahagia, ketika menerima bimbingan baca kitab dari seorang Syarief, seakan-akan ia adalah wanita yang paling bahagia di dunia ini.

Teman-teman yang lain, semuanya tersenyam senyum, ketika menyaksikan Syarief dan Aisya, karena mereka mulai menemukan kecocokan antara Syarief dan Aisya. Termasuk Ustadz Hasan, beliau juga tersenyum. Setelah itu Ustadz pun melanjutkan dengan pelajaran yang selanjutnya sampai jam 10 malam. Syarief dan Aisya pun pulang dengan sebahu dan sehayun melangkah, dengan perasaan yang sangat bahagia, karena Syarief bisa melihat keindahan Aisya, begitu pula Aisya, ia juga bahagia karena sudah menemukan indahnya hidup jika bersama Syarief, yaitu ketika Syarief bisa mengajarinya.

“Kakak dulu belajar di mana?” tanya Aisya “Samalanga” “Sudah lama?“ “5 tahun, kenapa?” “Gak papa!” “Aisya suka masuk ke pesantren yang megah?” “Sebenarnya Aisya suka, tapi takutnya… gak sanggup bertahan, Do’a kan saja kak!” pinta Aisya. “Ia, Amin…” ucap Syarief dengan hati senang, dan sangat mendukung supaya Aisya masuk ke pesantren.

Sambil berbicang-bincang, maka tibalah mereka di rumah masing-masing. “Duluan ya kak!” kata Aisya sambil tersenyum. “Ia.“ jawab Syarief sambil membalas senyuman Aisya. Aisya pun masuk ke rumahnya dengan hati bahagia karena mendapat sinyal-sinyal kasih sayang dari seorang Syarief. Ia mengaku telah mendapatkan orang yang mengerti perasaannya selama ini, yang sudah ia jadikan sebagai kakaknya, tempat mengadu nasibnya.

Sementara Syarief, ia pulang dan menemui Rival, yaitu sepupunya, sekaligus teman setempat tidurnya, namun Rival tidak belajar setempat dengannya.

“Kamu kenal Aisya?” tanya Syarief sama Rival dengan sedikit rasa malu, sambil duduk di meja belajarnya, dan menghadap ke arah Rival yang sedang duduk di ranjang. Mendengar pertanyaan itu dari mulut Syarief, Rival tersenyum, dan melirik ke arah Syarief, seakan-akan ia hendak berkata “Mulai nanyain wanita ini ya…”.

“Yaelah, pakek senyum begitu lagi.” kata Syarief sambil mengalih pandangannya, karena malu sama Rival. “Kenal banget kak hay, diakan yang sering melantunkan ayat suci Al-Qur’an di tempat-tempat acara dakwah, dan dia yang sering membawa lagu... “ jawab Rival sambil berfikir dalam-dalam, lagu apa yang sering dibawa Aisya. “Terus menurutmu dia gimana?” “Biasa aja, tapi pandai juga kok.” “Oia tadi dia goresin kakak.” ujar Syarief sambil  memperlihatkan tangannya yang di gores oleh Aisya tadi. Rival mengerutkan keningnya, ia bertanya, “Kok bisa?”

Maka Syarief menceritakan kejadian yang baru saja terjadi antara dia dan Aisya, sampai mereka tidur.

***

Esok harinya seperti biasa Syarief dan Aisya kembali memenuhi tugas mereka, yaitu mengajar di TPA. Pada saat pulang, mereka kembali pulang dengan selangkah. Hati Aisya masih merasa malu-malu untuk menatap Syarief, karena kata-kata Syarief semalam yang menginginkannya, apalagi ia mulai mencicipi cinta Syarief, dan mencoba membuka hatinya untuk Syarief.

“Aisya bisa Tilawah ya?” tanya Syarief. “Ngak!“ jawab Aisya dengan merendahkan diri. “Aisya sering membawa lagu... lagu... apa ya?” tanya Syarief dengan pura-pura berfikir. “Shaleha?“ sambung Aisya. “Ia, boleh nyanyi sedikit!” minta Syarief. Aisya tidak menjawab, ia malah berhenti dan melihat ke depan dengan tercengang ketakutan. Syarief yang melihat Aisya ketakutan, maka ia pun melihat apa yang dilihat oleh Aisya, ternyata ada Bu Aini yang sudah berdiri di depan mereka, dan menyaksikan mereka dari tadi.

Syarief menelan ludahnya sambil melihat Aisya di sampingnya dan melihat Bu Aini di depannya. Aisya menurunkan bahunya sebagai tanda hormat dan masuk ke rumahnya, maka tinggallah Syarief sama Bu Aini.

“Aisya bilang apa saja sama Syarief?” tanya Bu Aini dengan lembut. “Gak da papa Bu,” jawabnya gagap, takut Bu Aini  memarahinya, karena mendekati keponakannya. “Tolong jagain Aisya ya! Ibu takut ia tidak betah tinggal di sini,“ kata Bu Aini  dengan nada khawatir. “Ia Bu,“ jawab Syarief sambil mengangguk. Lalu Bu Aini meninggalkan Syarief dan Syarief menghela nafasnya karena tidak terjadi apa-apa. Lalu ia pulang untuk Shalat Ashar, sambil berjalan ia berfikir akan kata-kata yang Bu Aini keluarkan tadi, yang berarti beliau mempercayainya, dan Bu Aini mengizinkannya untuk berteman dengan Aisya, karena bagi Bu Aini Syarief adalah kakaknya Aisya.

Sampailah Syarief di rumah, lalu ia berwudhu’ untuk melakukan Salat Ashar, namun kata-kata Bu Aini tadi selalu saja bermain di telinganya, dan wajah Bu Aini bermain di matanya, sehingga amanah itu menjadi sebuah beban yang sangat berat, dan ujian yang paling susah baginya. Selain takut terjadi fitnah wanita, ia juga takut kalau besok ia akan benar-benar mencintai Aisya, apalagi rasa sayang sudah mendayung dari semalam. Pasti cinta juga akan menyusul, walau cinta itu fitrah manusia, tapi ia takut, nanti Bu Aini berfikir kalau ia menggunakan kesempatan dalam kepercayaan.

Setelah salat, Syarief menengadahkan tangannya seraya berdoa. “Ya Allah, Amanah adalah sebuah perkara yang harus disampaikan, walau pun itu hal yang paling berat, maka kuatkanlah aku untuk terus menjalani amanah sesuai dengan yang diamanahkan, dan pelihara aku dari fitnah-fitnah wanita yang paling kejam”

Setelah berdoa, Syarief mulai tersenyum, sambil telunjuknya yang kosong, menulis namanya di sajadah yang dibentangnya, karena yang hadir di pikirannya, yaitu jangan bicara tentang cinta bersama Aisya, jangan jatuh cinta kepada Aisya, berteman saja sudah cukup.

***

Pada malamnya Syarief kembali untuk belajar, dari jauh ia sudah melihat Aisya yang duduk di tangga sendirian, walau di matanya Aisya semakin terlihat cantik, tapi hatinya mencoba membuang perasaan cinta demi amanah Bu Aini. Lalu Syarief duduk di samping Aisya. “Ibu bilang apa tadi sama kakak?” tanya Aisya. “Ibu suruh kakak untuk jagain Aisya, jadi sekarang… kalau Aisya bandel, kakak lapor sama Ibu!” tegas Syarief yang sok jadi kakak Aisya. “Boleh, tapi kalau kakak yang bandel, Aisya lapor juga biar adil.” “Ya sudah yuk belajar dulu!” ajak Syarief dengan rasa sayang, bak seorang kakak menyayangi adiknya. “Ia,” jawab Aisya sambil bangun bersama Syarief. Lalu mereka duduk di tempat masing-masing untuk mengulang pelajaran.

Syarief duduk dalam kelompok laki-laki, yaitu di samping Rajul. Sementara  Aisya, ia duduk dalam kelompok wanita, sambil sesekali ia melihat ke arah Syarief dengan senyuman, ia berfikir bahwa ini adalah saatnya untuk mencintai Syarief tanpa ragu-ragu, karena Bu Aini sudah mengizinkannya untuk berteman dengan Syarief, sehingga ia tidak perlu takut lagi sama Bu Aini jika berada di samping Syarief, walau di depan Bu Aini sekalipun.