SUARA sepeda motor berderu keras di pelataran sebuah rumah di wilayah Bogor, Jawa Barat. Hari itu, Sabtu, 8 Mei 2021, sore, Jaya, seorang pegawai swasta, tengah menyiapkan diri untuk pulang ke kampung halamannya di Pekalongan, Jawa Tengah. Alat transportasi roda dua dipilih sebagai tunggangan supaya menghemat ongkos.

Dengan modal kenekatan, Jaya berangkat dari rumahnya pada pukul 18.30 WIB menuju Kalimalang, Kota Bekasi. Di sana, dia hendak berkumpul dengan rombongan mudik yang ia temui di sebuah forum di Facebook. Jaya mengaku tak kenal satu orang pun dalam rombongan tersebut secara personal. Dia hanya tahu bahwa setiap anggota rombongan ini bakal melewati jalur mudik yang sama menuju Tegal, Pemalang, dan Pekalongan.

Dalam rombongan itu, setiap orang memiliki tugas masing-masing. Satu orang bertugas sebagai penunjuk jalan, lainnya bertanggung jawab atas keselamatan kelompok, dan Jaya sendiri berada di posisi buntut untuk memastikan tidak ada satu orang pun yang tertinggal.

Itu pula alasan Jaya mudik dengan cara semi-konvoi. Selain menghindari titik-titik jalan yang dikabarkan terdapat penyekatan, mudik secara rombongan juga cenderung lebih aman. "Jadi kalau misalnya nanti saya cari jalan alternatif, jalan tikus, bisa ada barengannya," ujar Jaya.

"Daripada penyekatan, menurut saya tantangan mudik lebih pada kurangnya penerangan jalan, dan banyaknya jalanan yang rusak."

Singkat cerita, setelah menunggu cukup lama, Jaya dan rombongan pun berangkat dari Kalimalang sekitar pukul 21.30 WIB. Total ada delapan motor yang ikut rombongan ini. Ada yang membawa anak-istri, saudara, maupun teman sekampung halaman.

Rute yang ditempuh adalah jalur Pantura. Ia mengatakan kondisi jalanan relatif ramai-lancar malam itu. Selama perjalanan, menurut Jaya, pengawasan paling ketat hanya ada di perbatasan Cikarang-Karawang. Namun, di Indramayu, Cirebon, Tegal, dan seterusnya pos-pos polisi yang ada hanya seperti formalitas belaka. Para petugas hanya duduk di pos dan mengobrol satu sama lain.

Bahkan Jaya dan rombongannya tak mengalami penyekatan atau pengecekan surat-surat jalan. Kendati dia dan rombongan sama sekali tak membawa dokumen persyaratan perjalanan luar kota, seperti tes antigen dan printilan lainnya. Jaya pun bingung mengapa pemberitaan di televisi sangat bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan. "Daripada penyekatan, menurut saya tantangan mudik lebih pada kurangnya penerangan jalan dan banyaknya jalanan yang rusak," ungkapnya seperti dilansir dari Detik.com

Lain cerita dengan Aji, 27 tahun, seorang buruh pabrik di Cikarang. Sebelumnya Aji tidak punya niat pulang kampung. Begitu setidaknya sebelum dia melihat berita soal kedatangan 85 warga negara asing (WNA) asal China di Bandara Soekarno-Hatta pada 4 Mei lalu. Mereka tiba di Tangerang dengan menumpang pesawat carter. Belakangan diketahui, dua orang dalam pesawat itu terkonfirmasi positif COVID-19.

Berita itu membuat Aji geram dengan sikap pemerintah yang tidak tegas soal pelarangan mudik. Padahal surat edaran (SE) Satgas Penanganan COVID-19 Nomor 13 Tahun 2021 telah melarang setiap orang untuk melaksanakan tradisi mudik 6-17 Mei 2021. Adendum itu juga mengatur soal waktu pengetatan pelaku perjalanan dalam negeri (PPDN) pada H-17 larangan mudik atau 22 April-5 Mei 2021 dan H+7 atau 18-24 Mei 2021.

Namun, di sisi lain, pemerintah masih mengizinkan WNA masuk ke Indonesia dengan syarat tertentu. Persyaratan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 26 Tahun 2020. WNA boleh masuk ke Indonesia asalkan memiliki visa kerja dan disetujui Dirjen Imigrasi. Menurut Kemenkumham, 85 WNA China itu sudah memenuhi syarat. Sebab, mereka datang dengan visa kerja untuk proyek strategis nasional (PSN). "Jadi di mana adilnya?" tanya Aji.

"Orang luar boleh masuk. Kita orang Indonesia yang cuma mau ketemu keluarga di kampung malah dilarang,".

Karena itulah, Aji pun mengubah niatnya untuk tidak mudik tahun ini. Dia lantas menelepon kawannya, Abdi, sesama buruh pabrik di Cikarang, untuk mengatur waktu janjian mudik bersama. Keduanya sepakat pulang ke kampung masing-masing dengan menggunakan sepeda motor pada Jumat, 7 Mei 2021. Aji pulang ke Pemalang, sedangkan Abdi ke Brebes.

Habis Magrib hari itu, keduanya bertemu di pom bensin Warung Bongkok, Cikarang Barat. Tidak ada persiapan khusus, kata Aji. Dia hanya membawa tas kecil untuk bekal perjalanan, begitu pula dengan Abdi. Tanpa hasil tes antigen dan segala tetek bengek lain, keduanya langsung tancap gas ke kampung halaman dengan mengendarai motor masing-masing.

Selama di perjalanan, Aji tidak menemukan rintangan berarti, sekalipun jalur yang mereka lewati adalah jalan arteri Pantura. Beberapa kali mereka sempat melewati pos-pos penjagaan polisi. Tetapi tidak satu pun petugas yang memberhentikan dan meminta merekaputar balik.

Penyekatan paling ketat baru dijumpainya di Cirebon. Jaraknya sekitar 800 meter dari plang 'Selamat Datang' Kota Cirebon. Di sana, petugas berupaya memisahkan kendaraan pemudik dan non-pemudik ke dua sisi. Pemudik ke sisi kiri, dan non-pemudik ke sisi kanan.

Aji dan Abdi sempat diminta menepi ke kiri oleh petugas. Namun rupanya ada celah yang bisa dilalui pemudik untuk lolos dari penyekatan. Celah itulah yang dimanfaatkan Aji dan Abdi untuk lolos dari pemeriksaan petugas. "Di situ ada rasa deg-degan gimana ya, diberhentiin petugas. Tapi pas ada celah antarsekat itu, saya ambil kanan, langsung bablas," jelas Aji.

Praktis, setelah penyekatan itu, jalur mudik menuju Pemalang cenderung aman. Keduanya pun akhirnya berpisah di Tegal. Abdi mengambil arah ke Brebes, dan Aji lurus ke arah Pemalang. Walhasil, keduanya berhasil tiba di kampung halaman masing-masing pada Sabtu, 8 Mei 2021, dini hari setelah perjalanan 6-7 jam. Terhitung ada enam pos penyekatan yang mereka lewati.

Polisi memang telah berupaya menyekat banyak jalur mudik. Total 381 titik di Jawa-Bali dijaga petugas untuk mencegah gelombang pemudik. Bahkan tidak kurang dari 155 ribu personel gabungan telah diterjunkan dalam Operasi Ketupat 2021 ini. Rinciannya, 90.502 merupakan personel Polri dan 11.533 personel TNI, dan 52.880 personel instansi lain, seperti Satpol PP, Dishub, Dinkes, Pramuka, dan Jasa Raharja.

Namun upaya itu tampak tidak begitu efektif. Faktanya, masih banyak pemudik yang lolos dari penyekatan. Kapolres Karawang AKBP Rama Samtama Putra bahkan mengaku sempat kewalahan menghadapi pemudik. Sampai Sabtu, 8 Mei 2021, tercatat sedikitnya 100 pemudik berhasil lolos dari penyekatan di Karawang. Dalam sebuah video yang sempat viral di lini masa, terlihat ratusan pemudik di Karawang menerobos petugas dengan cara melawan arus.

"Itu dikarenakan jumlah personel tidak sebanding dengan jumlah pemudik," kata Rama melalui Kasi Humas Polres Karawang Ipda Budi, Sabtu, 8 Mei 2021.

Kendati demikian, upaya penyekatan tidak sepenuhnya gagal. Sampai Senin, 10 Mei 2021, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, ada sekitar 41.097 kendaraan pemudik yang diminta putar balik dan 306 travel gelap telah ditindak.

Meddy, 30 tahun, warga Karawaci, Tangerang termasuk yang gagal menembus penyekatan itu. Pada Jumat, 7 Mei 2021, pagi, dia berangkat pulang ke kampung halamannya di Ciomas, Serang, Banten. Namun, di tengah perjalanan, dia diminta putar balik oleh petugas karena tidak memenuhi syarat-syarat perjalanan jauh. Walhasil, Meddy pun gagal menemui keluarganya hari itu.

"Mungkin nanti takbiran (Rabu, 12 Mei 2021) saya baru pulang. Tertunda sebentar nggak apa-apa, tapi nanti harus Lebaran bareng keluarga," kata Meddy.

Walau begitu, dengan masih adanya orang-orang seperti Meddy, pemerintah belum bisa disebut berhasil mengantisipasi gelombang pemudik. Sebab, total pemeriksaan kendaraan yang diputar balik itu tidak ada seberapanya dibandingkan prediksi jumlah pemudik 2021.

Survei Balitbang Kementerian Perhubungan Institut Teknologi Bandung dan beberapa media sempat menyebut 11 persen masyarakat bakal tetap mudik kendati ada larangan. Secara nasional, jumlah orang yang mengaku nekat mudik itu mencapai 27,6 juta orang.

Epidemiolog dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo berpandangan, banyaknya orang yang masih nekat mudik disebabkan oleh tidak tegasnya pemerintah menegakkan aturannya sendiri. Di satu sisi, pemerintah melarang masyarakat mudik. Namun, di sisi lain, tempat wisata masih dibuka dan WNA masih diperbolehkan masuk. "Karena kebijakannya nggak sinkron dan bertentangan, itu membuat masyarakat makin abai terhadap regulasi yang dikeluarkan pemerintah," kata Windhu.

Dia khawatir ketidaktegasan ini bakal berakibat fatal pada semakin meningkatnya kasus positif COVID-19 seusai Lebaran. Windhu pun mengingatkan pola penyebaran kasus COVID-19 di Indonesia saat ini hampir mirip seperti India. Dalam beberapa bulan, kasus COVID-19 di India stagnan karena adanya euforia vaksinasi seperti di Indonesia. Tiba-tiba, boom, tsunami COVID-19 malah melanda India pada pertengahan April.

Dalam sepekan terakhir, 4-8 Mei 2021, India bahkan mencetak rekor penambahan kasus positif COVID-19 terbanyak dengan rata-rata per hari 391.232 jiwa. Total kematian akibat COVID-19 juga meningkat tajam menjadi 242 ribu jiwa dengan kasus rerata kematian per hari sebanyak 4.000 jiwa.

Perlu diingat, tambah Windhu, tsunami COVID-19 di India juga diawali dengan adanya relaksasi pemerintah pada upacara keagamaan. Pada pertengahan April lalu, pemerintah India mengizinkan rakyatnya merayakan Kumbh Mela, festival keagamaan umat Hindu. Dari situlah, jumlah kasus COVID-19 India melesat tajam.

Di Indonesia, sikap pemerintah yang seakan mencla-mencle terkait pelarangan mudik juga bisa berakibat demikian. "Pemerintah nggak lihat fenomena itu, padahal kan kebijakan harus berbasis informasi," tegas Windhu.

Tanda-tanda gelombang II pandemi di Indonesia semakinnyata ketika Airlangga Hartarto mengumumkan data bahwa 4.123 pemudik positif COVID-19. Jumlah itu didapat dari hasil pemeriksaan acak kepada 6.742 pemudik saat melalui jalur mudik. "Dilakukan isolasi mandiri 1.686 orang, dan dirawat 76 orang," kata Airlangga melalui akun YouTube Sekretariat Presiden, Senin, 10 Mei 2021.

Namun belum diketahui secara pasti dari mana sumber data yang disampaikan Airlangga tersebut. Pasalnya, persentase kasus positif itu cukup fantastis, yakni 61,15 persen dibandingkan jumlah tesnya. Sampai artikel ini diterbitkan, Airlangga tidak menjawab permintaan konfirmasi melalui pesan WhatsApp.

Sementara itu, Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 WikuAdisasmito juga mengaku tidak tahu-menahu dari mana asal data yang disampaikan Airlangga. Wiku malah baru mengetahui data itu dari media. "Saya nggak tahu laporannya dari mana. Jadi jangandikonfirmasi ke saya, karena saya nggak ngerti,” tandas Wiku.***