JAKARTA - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menyatakan keinginannya untuk menyatukan seluruh elemen masyarakat. Menurut LaNyalla hal itu harus dilakukan untuk mengawal perjalanan bangsa.

LaNyalla menyampaikan hal itu saat menghadiri dialog antar tokoh bangsa di Sekolah Insan Cendekia Madani, Serpong, yang diinisiasi senator asal Sulawesi Selatan, Tamsil Linrung, Jumat (7/5/2021).

Hadir dalam acara tersebut tokoh-tokoh nasional yang vokal dan dianggap oposisi pemerintah. Antara lain Rizal Ramli (Mantan Menteri), Gatot Nurmantyo (Mantan Panglima TNI), Ubedillah Badrun (pengamat politik UNJ), Ahmad Yani (Partai Masyumi), MS Kabban (Partai Ummat), Bachtiar Chamsah (mantan Menteri), Adie Massardi, Said Didu dan Natalius Pigai.

LaNyalla juga menekankan pentingnya menyatukan kekuatan dan potensi bangsa dalam satu irama langkah menuju tujuan hakiki lahirnya bangsa.

Terkait dengan adanya isu sekaan-akan dirinya adalah oposisi, dengan tegas LaNyalla menolak anggapan tersebut. "Saya tegaskan, bahwa saya bukan berada di barisan Oposisi. Tapi saya akan tetap mengawal pemerintahan Presiden Jokowi sampai selesai dan menyatukan oposisi dengan yang pro pemerintah dalam membangun bangsa," tandasnya.

Meski demikian, LaNyalla menilai pemerintah perlu dikawal agar tetap menahkodai biduk bangsa dengan arah yang jelas. Agar pemerintah tidak semakin berjarak dengan rakyat.

"Saya setuju, harus ada koreksi. Harus ada pikiran yang wajib disampaikan kepada pemerintah. Karena rakyat merasa ada paradoksal antara apa yang diregulasikan pemerintah, dengan apa yang dilakukan pejabat negara," ujarnya.

Dalam pertamuan tersebut, para tokoh tersebut membahas dengan hangat soal Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan Presiden. Mereka menganggap Presidential Threeshold membatasi demokrasi. Karena dengan ambang batas yang sekarang, tidak akan mungkin muncul banyak calon presiden.

"Yang namanya demokrasi itu harusnya semua orang diberi kesempatan. Inilah inkonsistensi kita. Indonesia berharap akan lebih baik dengan demokrasi tetapi dengan presidential threeshold 20 persen ini namanya membatasi demokrasi itu sendiri," ujar MS Ka'ban.

Saat ini ambang batas pencalonan presiden adalah 20 persen suara nasional atau disetarakan dengan 25 persen perolehan kursi parlemen. "Dengan ambang batas 20 persen yang ada akhirnya seperti kemarin. Hanya 2 calon yang bisa diusung. Partai besar menjadi dominan, partai kecil ikut," ujar Bachtiar Chamsah.

Adanya ambang batas 20 persen, menurut Ubedillah Badrun memunculkan oligarki ekonomi dan politik yang membuka ruang transaksi pragmatis. "Akhirnya sulit hadirkan Presiden yang berkualitas. Karena cukong-cukong yang berperan. Orang yang baik pun akan dikangkangi oleh mereka ini," jelas pengamat politik UNJ itu.

Para tokoh nasional yang hadir sepakat dan menganjurkan DPD RI untuk menggugat soal Presidential Threeshold tersebut. "Kita mendukung DPD RI melakukan perlawanan soal presidential threesold ini agar muncul banyak alternatif pemimpin," ujar Ahmad Yani.

Rizal Ramli menegaskan DPD RI bisa mengambil peran sebagai penggugat maupun inisiator agar Presidential Threeshold ini dikaji lagi. "Kita tidak berharap kepada DPR karena mereka berkepentingan. Kita justru berharap DPD yang bergerak. Kita salurkan aspirasi soal ini ke DPD sebagai wakil daerah," ucapnya.

Sementara itu Gatot Nurmantyo sepakat bahwa DPD RI punya peluang untuk menggalang dukungan berbagai elemen bangsa terkait ambang batas tersebut. "Presidential thresold ini bisa dibicarakan di rapat dengar pendapat atau FGD. Undang para pakar, rektor, mahasiswa dan lainnya untuk lahirkan kepemimpinan nasional," ucapnya.***