BANDUNG -- Jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat (Jabar) menuntut terdakwa pemerkosaan terhadap 13 santriwati, Herry Wirawan, hukuman mati dan kebiri.

Tuntutan itu dibacakan JPU dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, di Jalan RE Martadinata, Kota Bandung, Selasa (11/1/2022).

Dikutip dari Sindonews.com, JPU juga meminta majelis hakim menyita semua aset milik Herry dan mewajibkan terdakwa membayar denda Rp500 juta serta ganti rugi Rp331 juta.

Tuntutan hukuman maksimal itu diajukan tim JPU mengacu ke Pasal 81 ayat 1 ayat 3 dan 5 junto Pasal 76 huruf d UU RI No 17 tahun 2016 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-undang junto Pasal 65 ayat 1 KUHP sebagaimana dakwaan primer itu, bukan tanpa alasan. 

Kapala Kejati Jabar Asep N Mulyana sekaligus JPU menyatakan, beberapa fakta persidangan yang mengungkap kekejian Herry Wirawan menjadi dasar tuntutan tersebut.

''Alhamdulillah siang hari ini kami telah membacakan tuntutan pidana kami yang tebalnya lebih dari 300 halaman tapi kami tidak bacakan semua mengingat efisiensi waktu. Dari tuntutan pidana, kami ada beberapa yang disampaikan, bahwa kami menyimpulkan perbuatan terdakwa sebagai kejahatan sangat serius. The most serius crime,'' kata Asep N Mulyana seusai persidangan di PN Bandung.

Dituturkan Asep N Mulyana, terdapat beberapa argumentasi dan pertimbangan mengapa JPU menggolongkan kejahatan terdakwa Herry Wirawan sebagai the most serius crime. Pertama, mengacu kepada konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menentang penyiksaan hukuman yang tidak manusiawi di mana perbuatan terdakwa masuk kategori kekerasan seksual. 

Kedua, kekerasan seksual yang dilakukan terdakwa dilakukan kepada anak didik, anak perempuan asuh yang berada dalam relasi kuasa. Jadi, anak-anak berada dalam kondisi tidak berdaya karena berada dalam tekanan pelaku dan kedudukan pelaku selaku pendiri pengasuh sekaligus pemilik pondok pesantren (ponpes).

Ketiga, kekerasan terdakwa ini itu berpotensi merusak kesehatan anak terutama karena di bawah usia 17 tahun. Data menunjukkan bukan hanya membahayakan kesehatan anak perempuan yang hamil di usia dini, tapi berisiko menularkan penyakit HIV, kanker serviks, dan meningkatkan angka morbilitas.

Keempat, perbuatan terdakwa berpengaruh kepada psikologis dan emisional anak secara keseluruhan.

''Kelima, kekerasan seksual yang dilakukan oleh terdakwa secara terus menerus dan sistematik. Bagaimana (pelaku) mulai merencanakan, mempengaruhi anak- anak mengikuti nafsu seks dan tidak mengenal waktu pagi siang sore, bahkan malam ketika anak lain istirahat,'' ujar Asep.

Alasan keenam, tutur Kajati Jabar, terdakwa Herry Wirawan memakai simbol agama dan pendidikan untuk memanipulasi dan menjadikan alat justifikasi bagi terdakwa untuk melakukan niat jahat dan kejahatan ini.

''Membuat anak terpedaya karena manipulasi agama dan pendidikan,'' tutur Kajati Jabar.

Ketujuh, perbuatan terdakwa menimbulkan dampak luar biasa keresahan sosial. Terakhir, kedelapan, perbuatan terdakwa berpotensi menimbulkan korban ganda menjadi korban kekerasan ssksual dan ekonomi fisik yang menimbulkan dampak sosial berbagai aspek.

''Maka dalam tuntutan kami, pertama, menuntut terdakwa dengan hukuman mati sebagai bukti dan komitmen kami untuk memberikan efek jera kepada pelaku atau pihak lain yang akan melakukan kejahatan (seksual),'' ucap Asep N Mulyana.

Tuntutan kedua, ujar Kajati Jabar, JPU juga meminta kepada hakim untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa pengumuman identitas terdakwa agar dapat segera disebarkan melalui pengumuman hakim dan hukuman kebiri kimia.

''(Tuntutan) ketiga kami meminta hakim menjatuhkan hukuman pidana Rp500 juta subsider satu tahun kurungan dan keempat, mewajibkan terdakwa membayar restitusi (ganti rugi) kepada korban total Rp331 juta,'' ujar Kajati Jabar. 

Kelima, tutur Asep, meminta hakim membekukan, mencabut, dan membubarkan Ponpes Manarul Huda Parakansaat, Madani Boarding School Cibiru, Yayasan Manarul Huda dan merampas harta kekayaan terdakwa, baik tanah dan bangunan maupun pondok pesantren baik kekayaan terdakwa lainnya baik yang sudah disita maupun belum, untuk dilelang dan diserahkan ke negara melalui Pemprov Jabar,'' tutur asep.

Selanjutnya hasil lelang aset terdakwa, kata Kajati Jabar, digunakan untuk biaya sekolah anak anak, bayi-bayi, dan kelangsungan hidup mereka.

''Kami juga meminta merampas barang bukti sepeda motor terdakwa dilelang. Hasilnya diserahkan ke negara melalui Pemprov Jabar demi keberlangsungan hidup korban dan anak-anaknya,'' ucap Kajati Jabar.***