PEKANBARU - Eksekusi lahan PT Peputra Supra Jaya (PSJ) hingga saat ini masih banyak mendapat perlawanan. Padahal perintah eksekusi sudah sesuai dengan putusan Mahkamah Agung (MA) nomor 1087/Pid.Sus.LH/2018 tanggal 17 Desember 2018 atas gugatan PT NWR.

Ahli hukum pidana Dr Muhammad Nurul Huda SH, MH mengatakan, tidak seorang pun bisa mencampuri eksekusi lahan yang sudah sesuai dengan undang-undang dan aturan hukum yang berlaku di Indonesia.

''Seperti tindakan anggota DPRD Riau Zukri Misran, yang pada hari Minggu (19/1/2020) mendatangi masyarakat yang tengah melakukan aksi perlawanan di lokasi lahan eksekusi. Seharusnya tidak diperbolehkan. Karena kehadiran anggota dewan bisa ditafsirkan menghalang-halangi eksekusi. Dan itu bisa di pidana menurut Pasal 53 Junto Pasal 160 Junto Pasal 216 KUHP,'' tegasnya.

Menurutnya, seharusnya anggota dewan itu tidak perlu datang ke lokasi jika memang dinilai ada kesalahan dalam proses eksekusi. ''Anggota dewan cukup memanggil para petugas eksekusi,'' ujarnya.

Sebelumnya, Nurul Huda juga menyayangkan adanya aksi penolakan eksekusi itu. Menurutnya aksi penolakan eksekusi seharusnya tidak terjadi, karena eksekusi tersebut adalah hal yang harus dilakukan sesuai aturan hukum yang berlaku di Indonesia.

''Kan sudah jelas putusan itu legal kenapa masyarakat mengintervensi putusan tersebut. Seharusnya negara jangan mau kalah dari orang-orang yg tidak taat pada putusan pengadilan. Saya pikir PSJ mestinya mengedukasi masyarakat yang berkonflik untuk menyelesaikan persoalan itu secara hukum, bukannya malah memancing masyarakat untuk terlibat dalam keributan yang seharusnya tidak perlu dilakukan,'' terang Nurul Huda.

Selanjutnya Nurul Huda menegaskan, hal tersebut merupakan tindakan yang tidak baik, karena Indonesia adalah negara hukum maka sudah selayaknya masyarakat patuh dan tunduk pada mekanisme hukum yang telah ada, jika hal itu terus berlanjut maka akan ada konsekwensi hukum yang harus diterima bagi orang yang tidak taat hukum.

"Jangan lupa ada ancaman pidana bagi pihak-pihak yang menghalangi eksekusi putusan pengadilan, itu bisa dipenjara satu tahun atau empat bulan, hal ini tertuang dalam pasal 212 atau 216 KUHPidana," tutup dosen Pascasarjana UIR itu.

Hal senada disampaikan oleh ahli hukum dari Universitas Riau, DR Erdianto. Ia mengatakan bahwa putusan peradilan yang sudah inkracht van geweistge tidak dapat lagi diadakan perlawanan. Kalaupun ada upaya hukum luar biasa seperti peninjauan kembali namun upaya hukum tersebut tidak menunda dilaksakannya eksekusi.

''Asas hukum menyatakan lex dura septimen scripta, hukum itu keras tetapi harus ditegakkan. Dalam sebuah putusan tentu ada pihak yang merasa tidak diuntungkan tetapi itu lah putusan pengadilan," tuturnya.

Terangnya, Jaksa selaku eksekutor tidak punya opsi untuk melakukan eksekusi atau tidak karena memang sudah kewajibannya melaksanakan putusan.

Dalam melakukan eksekusi, jaksa tentu tidak sendiri, perlu melibatkan pihak lain. Contoh dalam eksekusi putusan berupa pemidanaan, jaksa melakukan eksekusi dengan cara menyerahkan terpidana ke Lembaga Pemasyarakatan bukan dengan cara jaksa yang langsung memasukkan terpidana ke dalam Lapas. 

Kemudian petugas Lapaslah yang selanjutnya menempatkan terpidana ke dalam tempat-tempat menurut ketentuan pemasyarakatan. Demikian pula dengan eksekusi putusan berupa perampasan barang-barang tertentu, jaksa dibantu oleh petugas penegak hukum yang lain. 

"Nah, dalam putusan perkara ini dinyatakan bahwa ke negara hukum yang juga dilibatkan dalam melaksanakan eksekusi adalah dinas kehutanan yaitu untuk menertibkan kawasan yang dieksekusi sebagaimana yg dinyatakan dalam amar putusan," rincinya.

Sementara menurutnya, anggota DPR atau DPRD melaksanakan fungsi pengawasan, budgeting dan legislasi. Dalam hal ada keluhan masyarakat, anggota legislatif dapat melakukan pengawasan tetapi tidak dalam bentuk menghalangi proses eksekusi. Sebab pelaksanaan eksekusi adalah kewajiban hukum yang harus dilaksanakan oleh penegak hukum. ***