PEKANBARU – Senin 07 November 2022, Mahkamah Agung (MA) mengumumkan hasil putusan Nomor 4991 K/Pid.Sus-LH/2022 tentang perkara pidana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dengan terdakwa PT Gandaerah Hendana (PT GH). Putusan yang diambil pada 13 September 2022 ini menyatakan penolakan terhadap permohonan kasasi dari pemohon kasasi/penuntut umum.

Artinya, MA menguatkan putusan di tingkat Pengadilan Tinggi Pekanbaru yang menyatakan bahwa PT GH tidak bersalah atas kebakaran lahan yang terjadi di lokasi HGUnya. Menanggapi hal tersebut, WALHI Riau, Senarai, Jikalahari, dan ICEL menggelar diskusi publik bertajuk “Menyoal Putusan Bebas Perkara Karhutla PT Gandaerah Hendana”.

Jeffri Sianturi, Koordinator Umum Senarai, mengulas tentang fakta persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Rengat. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Rengat Nomor 256/Pid.Sus/PN Rgt, kebakaran yang terjadi pada bulan September 2019 di konsesi HGU-nya seluas 580 hektar. Menyatakan bahwa perusahaan sengaja tidak melalukan pengawasan dan perlindungan terhadap lahan usahanya sehingga terjadi dilampauinya kriteria kerusakan lingkungan hidup.

“Kebakaran yang terjadi selama 21 hari sudah diketahui perusahaan sejak awal, tapi mereka tidak melakukan tindakan apapun. Sebab perusahaan baru memadamkan sepuluh hari setelah api timbul, itupun tidak sunguh-sungguh. Sehingga memang layak GH dikenakan Pasal Alternatif pertama yakni Pasal 98. Dan kenai denda dan perbaikan akibat kebakaran sebesar Rp 216 miliar,” ujar Jeffri.

GoRiau

Sayangnya, putusan PN Rengat tersebut kemudian dibatalkan, Pengadilan Tinggi Riau serta dikuatkan kembali oleh Mahkamah Agung dengan putusan bahwa GH tidak bersalah.

“Ini langkah mundur terhadap penegakan hukum sektor lingkungan hidup di Riau. Perusahaan yang sengaja tidak melindungi lahan dan membenturkan masyarakat dengan dalih merekalah yang menguasai lahan dan harus dimintai pertanggungjawaban” ucapnya.

GoRiau

Lahan terbakar, masuk dalam HGU dan sejak 2005 hingga 2020 masih berusaha diambil dengan berbagai laporan ke kantor pertanahan, bupati, camat dan kepala desa. Mengapa perusahaan tidak melakukan pola ganti rugi atau kemitraan dengan masyarakat sehingga lahan bisa dikuasai kembali. Atau sejak dari dulu perusahaan melepaskan dari HGU. Mengapa saat proses penyelidikan tiba-tiba melepaskan HGU. “Apa motivasi perusahaan?” ujar Jeffry.

Selanjutnya, Okto Yugo Setiyo, Wakil Koordinator Jikalahari, memaparkan tentang public review SP3 Korporasi yang tersandung kasus karhutla Riau 2015. Ia juga mengulas kembali mengenai beberapa dampak karhutla Riau 2019 yang salah satu kontribusi terbesarnya adalah dari PT GH.

“Selain menyebabkan dampak lingkungan yang besar hingga menimbulkan korban jiwa, PT GH juga disinyalir telah merugikan negara dari sektor pajak. Pansus Monev Perizinan Tahun 2015 DPRD Riau menemukan Aktifitas PT GH di luar izin mengakibatkan kerugian Negara, dari potensi pajak P3 (PPn, PPh, dan PBB) Rp 50 milyar lebih setiap tahunnya,” kata Okto.

Okto juga menyebutkan adanya dugaan korupsi pertanahan oleh PT GH. Setelah kebakaran 3 sampai 24 September 2019, Gandaerah mengusulkan pengurangan sebagian HGU termasuk yang terbakar ke BPN Inhu. Usulan lahan yang dikurangi seluas 2.791,49 hektar. Menurut Okto, usaha pengurangan sebagian HGU yang di dalamnya merupakan lahan terbakar dan sedang diproses hukum diduga sebagai upaya untuk lari dari tanggungjawab dan jeratan hukum.

Paparan ketiga disampaikan oleh Umi Ma’rufah, Koordinator Riset dan Kajian Kebijakan WALHI Riau. Umi menyebutkan bahwa alasan dibebaskannya PT GH dari dakwaan pidana karhutla bertentangan dengan temuan lapangan yang diperoleh WALHI Riau.

“Pemantauan lapangan yang dilakukan oleh tim WALHI Riau di PT GH pada Mei 2022 menemukan salah satu pemilik lahan yang mengatakan tanah tersebut dibeli dari perangkat Desa Seluti Kecamatan Lirik Kabupaten Indragiri Hulu berupa Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) sejak satu tahun yang lalu dengan harga Rp33 juta/hektare. Adapun perkiraan jumlah masyarakat yang memiliki lahan garapan sawit bekas terbakar di HGU PT GH sekitar 30 KK dengan total luas ±50 hektare dengan lama kepemilikan 1-3 tahun. Ini menunjukkan bahwa klaim lahan yang terbakar telah dikuasai masyarakat sejak lama tidak seluruhnya benar,” kata Umi.

Umi juga menyinggung tentang pelanggaran PT GH di kawasan hutan yang akan diselesaikan lewat skema keterlanjuran Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja. “Pada awal tahun ini, Jokowi mengumumkan SK pencabutan izin kehutanan yang di dalamnya menyebutkan SK pelepasan kawasan hutan PT GH No. 806/KPTS-II/1993 seluas 14.000 hektare masuk dalam kategori evaluasi. Namun, di sisi lain PT GH juga masuk dalam skema keterlanjuran yang akan mendapat Izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (IPPKH). Sayangnya, informasi mengenai proses implementasi 110A dan 110B ini sangat tertutup sehingga masyarakat sipil tidak dapat melakukan pengawasan dan pemantauan, apalagi turut memberi masukan,” terang Umi.

Selanjutnya, Difa Shafira dari ICEL menjelaskan tentang relevansi Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36 Tahun 2013 tentang Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup (KKMA 36/2013) dan Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup dalam perkara ini. Difa menjelaskan bahwa dalam kasus PT GH, hakim pada tingkat banding dan kasasi tidak memeriksa dan mengadili perkara berdasarkan KKMA 36/2013.

“Pasal 98 dan Pasal 99 UU PPLH merupakan delik materil dan hal ini pun jelas diuraikan dalam KKMA 36/2013, sehingga hakim perlu melihat bagaimana PT GH telah mengakibatkan lahan HGU-nya terbakar. Hakim pun mengabaikan relevansi dokumen perizinan dan kewajiban-kewajiban yang melekat pada PT GH dalam mengadili perkara. Putusan tingkat banding dan kasasi ini sangat disayangkan. Padahal Putusan PN Rengat yang dianulir telah menunjukkan adanya penegakan hukum lingkungan yang berorientasi pemulihan melalui pidana tambahan sesuai ketentuan Pasal 119 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sayangnya, putusan banding dan kasasi justru membebaskan PT GH dari semua tanggung jawab hukum. Hal ini tentunya kembali menimbulkan pertanyaan, bagaimana nasib pemulihan lahan yang terbakar?” ujar Difa.

Atas putusan bebas perkara karhutla PT GH, WALHI Riau, Senarai, Jikalahari, ICEL, dan peserta diskusi yang hadir sepakat untuk mendorong kejaksaan melakukan Peninjauan Kembali (PK). Okto menambahkan perlunya mendorong jaksa mencari celah untuk lapor ke Komisi Yudisial, kemudian juga adanya dugaan korupsi di BPN dan Mahkamah Agung. “Lalu juga bisa dilakukan eksaminasi publik atau public review. Kita pun harus terus menyuarakan isu ini, bahkan bila perlu kita demo,” kata Okto. Difa turut menekankan penting memberi masukan kepada MA terkait evaluasi sistem dan monitoring untuk mencegah putusan yang seperti PT GH ini terulang kembali. ***