PEKANBARU - Ketidakpastian ekonomi global diperkirakan masih membayangi hingga 2019 mendatang. Di tengah kondisi itu, Bank Indonesia memperkirakan perekonomian Indonesia tahun depan masih berpotensi untuk tumbuh, mengingat pertumbuhan tahun ini cukup baik.

Asisten Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter, Handri Adiwilaga mengatakan, meski tensi dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok sedikit mereda, hal ini masih memiliki risiko global yang sangat tinggi. Sebab, dibandingkan negara lain di kawasan Eropa, Tiongkok, Jepang dan Korea, pertumbuhan ekonomi AS hingga kini masih kuat, meski tidak mencapai target.

"Ketidakpastian ekonomi global ini juga menyebabkan Argentina dan Turki mengalami krisis. Ini pun diperkirakan ketidakpastian global masih akan berlanjut di tahun depan. Dikhawatirkan, pertumbuhan ekonomi melandai," kata Handri dalam Capacity Building Wartawan Wilayah Kerja KPW BI Provinsi Riau di Jakarta, Kamis (13/12/2018).

Memang tidak dapat dipungkiri, lanjut Handri, tensi dagang antara AS dan Tiongkok telah menyebabkan volume perdagangan dunia melambat, khususnya terhadap komoditas yang mengalami penurunan harga.

"Volume perdagangan dunia yang melambat menyebabkan harga komoditas juga turun, seperti tembaga mengalami penurunan dari 27,1 persen menjadi 6,4 persen. Yang tak kalah parahnya, CPO turun 17,9 persen," ungkapnya.

Kendati demikian, Handri mengatakan, Indonesia tahun ini justru mengalami perbaikan ekonomi di sebagian besar wilayahnya.

"Masih tingginya pertumbuhan ekonomi daerah ditopang oleh ekonomi wilayah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Di sisi lain, perekonomian Sulawesi, Maluku dan Papua melambat, NTB mengalami kontraksi pertumbuhan," ujarnya.

Di tengah tren pelambatan ekonomi dunia, lanjut Handri, perekonomian Indonesia tumbuh cukup kuat ditopang permintaan domestik.

"Perekonomian Indonesia pada triwulan III 2018 tumbuh cukup kuat sebesar 5,17 persen (yoy), didukung permintaan domestik terutama bersumber dari investasi dan belanja pemerintah," tuturnya. ***