PEKANBARU, GORIAU.COM - Ketika hutan belantara dilanda degradasi dahsyat, pembakaran di mana-mana, menghanguskan puluhan ribu hektare hutan yang sesungguhnya pelindung bagi rumah kehidupan, penggawa tetap mempertahankan wilayahnya.

Keperkasaan para penggawa itu tercermin pada sembilan anak-anak muda berbadan kurus, yang berani mempertaruhkan nyawa, demi menyelamatkan sisa hutan keramat di Bukit Fatimah."Hutan keramat itu sudah sejak ratusan tahun lampau telah dijaga oleh leluhur adat Talang Mamak," kata Direktur Yayasan Hakiki, Akhwan Binawan, dalam surat elektronik yang diterima, Senin malam (17/3/2014).Akhwan berkisah tentang sembilan penggawa, mereka berjalan kaki bermil-mil jauhnya dari rumah, hanya untuk memastikan hutan adat tetap terjaga, mulai dari memasang plang-plang berisi peringatan "Wilayah ini milik masyarakat adat", hingga mengusir perambah yang menebang kayu alam lantas dijadikan lahan perkebunan, tanpa izin dari tetua-tetua adat Talang Mamak. "Tentu saja, cara-cara persuasif mereka lakukan saat bertemu dengan perambah," kata dia.Sembilan anak-anak muda itu, berasal dari Desa Anak Talang, satu dari sembilan Kebatinan Batang Cenaku Suku Talang Mamak itu menyadari, bahwa hutan adat mereka terancam musnah sejak perusahaan industri berbasis sawit dan tanaman akasia-eukaliputs serta perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah adat Talang Mamak kian berkuasa.Suku Adat Talang Mamak salah satu komunitas adat yang bermukim di Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Suku Talang Mamak memiliki 29 kebatinan tersebar di Kecamatan Batang Cenaku, Batang Gangsal, Rakit Kulim, Seberida dan Rengat Barat. Suku ini berasal dari Suku Melayu Tua yang di percayai sebagai suku asli Indragiri Hulu dengan sebutan suku Tuha atau pendatang pertama.Bukan hanya menjaga hutan tersisa, demikian Akhwan, mereka juga menuntut tanah dan hutan adat warisan leluhur yang masuk dalam konsesi segera dikembalikan oleh korporasi-korporasi itu."Hutan adalah tempat bermain saya mulai kecil. Kalau hutan ini hancur dijadikan perkebunan sawit, tempat main saya akan hilang," kata Aan Pardinata, satu dari sembilan penjaga hutan Talang Mamak seperti dikisahkan Akhwan.Tidak hanya itu, kata dia, di dalam hutan banyak sekali kehidupan mulai satwa liar, pohon, rotan, obat-obatan herbal yang bisa membantu manusia, namun kini mulai musnah."Saat ikut bersama anak-anak muda itu menelusuri hutan. Saya merasa malu. Mereka belum dewasa, tapi ikhlas menjaga hutan,” kata Akhwan Binawan.Ia terlibat langsung membantu menyelamatkan wilayah adat Talang Mamak melalui pemetaan partisipatif tiga tahun terakhir.  "Salah satu mandat Maklumat Talang Mamak dan Putusan Mahkamah Konstitusi soal hutan adat di luar hutan negara adalah memetakan wilayah ada sebagai dasar klaim wilayah adat," kata Akhwan Binawan yang juga disapa Wewen.Sempena hari kebangkitan masyarakat adat Se-Nusantara yang ke-15, pihaknya juga mengingatkan kembali bahwa masyarakat adat belumlah mendapatkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat sepenuhnya.Artinya, kata dia, pekerjaan masih banyak dan jalan yang harus ditempuh juga masih berliku, anggaplah ini sebagai sebuah mimpi yang akan menjadi sebuah kenyataan, mimpi menjadi masyarakat adat yang berdaulat, mandiri dan bermartabat.Maklumat Talang Mamak merupakan hasil pertemuan melalui masyarakat adat Talang Mamak di Sembilan Batin di Batang Tanaku, sepuluh masuk Dubalang Anak Talang, Suku Nan Anam Balai Nan Tiga di Rakit Kulim yang sudah mendiami wilayah adat Talang Mamak selama ratusan tahun. Pertemuan itu ditaja melalui Gawai Godang pada Januari 2013 di Balai Adat Kebatinan Talang Perigi Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Mereka bertekad bersama-sama berjuang membebaskan diri dari segala bentuk penjajahan, penindasan, pelecehan, pembodohan dan perampasan hak asasi sebagai masyarakat adat. Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012, pada 2013 menyatakan status hutan terbagi tiga, yakni Hutan Negara, Hutan Adat dan Hutan Hak. Sebelumnya status hutan hanya Hutan Negara dan Hutan Hak, dimana Hutan Adat masuk dalam Hutan Negara, namun kini Hutan Adat berdiri sendiri dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999. Kebangkitan AdatSemangat menyelamatkan hutan tanah adat anak-anak muda itu, memberi arti sempena Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara pada 17 Maret 2014. "Anak-anak muda Talang Mamak tersebut harus diberi apresiasi dan penghargaan, sebab apa yang telah mereka lakukan menyelamatkan hutan itu berarti juga menyelamatkan semesta dari perubahan iklim," kata Muslim Rasyid, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari).  Apalagi, lanjut kata dia, hutan-hutan adat Talang Mamak yang berada di koridor Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, kini mulai "mengerucut", beralih fungsi dengan perkebunan dan kawasan hutan industri.Keterancaman hingga kerusakan hutan adat, menurut dia juga terjadi di wilayah masyarakat hukum adat Kenegerian Adat Kampar."Perusahan sawit , HTI dan Tambang juga merampas hutan dan tanah adat masyarakat Kenegrian Kuntu," kata Efri Subayang, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Riau. Bahkan hasil pemetaan dan inventarisasi AMAN Riau, wilayah hutan adat di Riau telah dirampas oleh perusahaan berbasis tanaman industri akasia-eukaliptus dan perkebunan kelapa sawit. "Jika bukan masyarakat adat hukum itu sendiri yang menjaga adatnya, kelak adat dengan sendirinya akan hilang," kata Efri. Sembilan anak-anak muda Talang Mamak itu menurut dia menjadi simbol generasi teraju penjaga hutan adat.Momentum hari kebangkitan masyarakat adat nusantara, menurut Wewen, yakni sudah saatnya masyarakat hukum adat se Riau mulai dari Talang Mamak, Petalangan, Sakai, Duano, Suku Akit dan masyarakat hukum adat lainnya, berjuang bersama merebut hak-hak adat yang telah dirampas korporasi.Sembilan penggawa telah memulai langkahnya sejak dini, untuk kelak menjadi hulubalang, pelindung hutan yang terus mengalami degradasi dahsyat. (fzr/ant)