JAKARTA - Jenderal Andika Perkasa akan genap berusia 53 tahun pada 21 Desember 2022. Artinya, sesuai UU TNI Nomor 34 Tahun 2004, Andika memasuki masa pensiun pada tanggal itu. Lalu siapa pengganti Andika nanti?

Pengamat militer Muradi menilai, sosok potensial pengganti Andika adalah Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Yudo Margono. Menurutnya, Panglima TNI dari matra AL belum pernah dipilih sejak Presiden Jokowi menjabat dari periode pertama.

"Kita bicara satu basisnya Undang-Undang 34 Tahun 2004 (UU TNI) ya kan dari semenjak Pak Jokowi selama berkuasa dari 2014 sampai hari ini angkatan laut belum pernah menjabat sebagai Panglima," kata Muradi, Sabtu (05/11/2022).

"Itu Pak Yudo jadi artinya potensi menjadi dari angkatan laut itu besar sekali, meskipun jabatan Pak Yudo tinggal satu tahun ke depan," sambungnya.

Menurutnya, sudah waktu dan jatahnya Panglima TNI diisi dari matra AL. Sebab, jika bicara kekuatan poros maritim maupun Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) memerlukan unsur kekuatan laut yang luar biasa. "Jadi artinya Pak Jokowi, momen pergantian Panglima ini adalah harusnya dari angkatan laut, semacam given, artinya sudah jatahnya lah," kata Muradi.

"Cuma pertanyaannya apakah nanti pak Yudo atau ada nama yang lain, tapi kalau melihat polanya kan Panglima diusulkan dari kepala staf yang ada, jadi memang memungkinkan bahwa Pak Yudo punya potensi besar untuk menjadi Panglima," tambahnya.

Muradi lalu berbicara mengenai opsi Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal Dudung Abdurachman menggantikan Andika. Menurutnya, Dudung lebih baik mengisi posisi Wakil Panglima TNI. Sebab, jabatan Panglima TNI sudah berturut-turut di isi dari matra AD.

"Ya bisa, tapi kemudian kan sudah berturut turut angkatan darat, jangan dong, jadi lebih aman. Sebenarnya kalau Pak Dudung masih punya keinginan bantu ya, membantu Panglima dia bisa ada dalam posisi wakil panglima, kan Perpres-nya sudah ada wakil panglima tapi gak pernah diisi karena kebutuhan organisasi," tuturnya.

Namun, ketimbang Wakil Panglima TNI, Muradi menilai Dudung lebih nyaman menjadi Kasad. Sebab, kewenangan dari jabatan Kasad bisa lebih leluasa. "Saya kira kalau misalnya Pak Dudung berkehendak mau saya kira potensi masih besar, hanya kalau saya jadi Pak Dudung saya lebih nyaman jadi Kasad ketimbang jadi Wakil Panglima, karena kan Kasad pegang administrasi, dia pegang pasukan betul, ada sekitar 250 ribu angkatan darat yang dia bisa kontrol," ucapnya.

Muradi berpendapat, Presiden Jokowi harus memilih calon Panglima TNI yang sesuai kebutuhan dan kenyamanan dirinya. Dia mencontohkan ketika era Gatot Nurmantyo dan Hadi Tjahjanto.

Dia menilai, kala itu kinerja Gatot bagus, namun Presiden Jokowi merasa kurang nyaman. Sebaliknya, saat Hadi menjabat, Jokowi merasa nyaman, tetapi kinerjanya biasa saja. "Dulu kan Pak Gatot kurang bagus apa, tapi Presiden gak nyaman, kan jadi gak match, kalau misalnya kayak Pak Hadi dianggap biasa aja tapi buat Presiden nyaman, ya dipilih kan," ujar Muradi.

"Jadi artinya kombinasi dari itu kenyamanan, sesuai kebutuhan dengan ancaman kemudian diterima oleh internal, kemudian bisa melakukan konsolidasi tiga matra itu jadi poin penting," sambungnya.

Muradi menambahkan, Presiden Jokowi perlu mempertimbangkan asas keadilan dalam memilih calon Panglima TNI berikutnya. Untuk Kasad Dudung, mungkin bisa dipilih tahun depan mendekati dinamika pemilu 2024. "Asas keadilan ini saya kira Pak Presiden harus bisa mempertimbangkan betul," ucapnya.

"Bahwa nanti Pak Dudung kan selesai katakanlah kira-kira sekitar Desember tahun depan saya kira gak ada masalah, mungkin kalau waktunya Pak Dudung masih cukup bisa Pak Dudung berikutnya untuk menghadapi dinamika pemilu 2024," tutup Muradi.

Sementara itu, Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi menilai, sepanjang masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo belum pernah ada Panglima TNI dari kesatuan Angkatan Laut.

"Selama masa pemerintahan Presiden Jokowi, belum pernah ada Panglima dari lingkungan TNI AL. Meski tidak ada ketentuan normatif yang mengharuskan pergiliran di antara ketiga matra, namun hal itu bukan berarti tidak penting untuk menjadi pertimbangan," ucap Fahmi saat dihubungi merdeka.com, Selasa (6/9).

Fahmi sangat berharap pemilihan Panglima TNI jangan sampai menimbulkan konflik terpendam di bawah permukaan. Yang, kemudian berpotensi menghadirkan kerawanan bagi soliditas TNI, terlebih stabilitas nasional. "TNI AL tidak boleh diperlakukan ibarat anak tiri. Padahal bangsa ini mestinya bisa lebih berdaulat di laut dan menjadi bangsa Maritim yang besar."

"Atau memang jangan-jangan ada kekhawatiran jika kita menjadi lebih kuat di laut? Kalau iya, itu adalah agenda proksi. Semoga elite politik kita dan jajaran TNI tidak menjadi agen dan aktornya," sambung dia.

Di sisi lain, Fahmi juga melihat Kasal memang perlu ambil bagian untuk mengembalikan ingatan sejarah Indonesia pernah mengalami masa kejayaan maritim. Apalagi Presiden juga punya cita-cita membangun poros maritim. "Nah, kiprah Pak Yudo dan TNI AL belakangan menampakkan adanya komunikasi yang berjalan dan dapat diyakini cukup berkontribusi untuk memperkuat peluang untuk ditunjuk Presiden dan mendapat persetujuan parlemen," sebutnya.

Fahmi juga mengatakan bahwa menjadi pucuk pimpinan TNI merupakan cita-cita semua prajurit. Sesuai UU, jabatan panglima TNI hanya bisa diduduki oleh kepala staf atau mantan kepala staf yang masih aktif. Sehingga ini bisa jadi akan sangat kompetitif hingga pada saatnya nanti Presiden menentukan pilihannya.

"Mengacu pada penunjukan Jenderal Andika, Presiden ternyata tidak meletakkan usia dan masa aktif sebagai pertimbangan utama. Artinya, pola ini masih mungkin diterapkan juga pada saat penggantian Jenderal Andika," tuturnya.

"Nah, memperhatikan hal-hal di atas maka menurut saya, sepanjang belum pensiun, peluang jelas besar dan kuat untuk Laksamana Yudo Margono," sambungnya.

Untuk melihat peluang ketiga perwira tinggi itu akan dipilih oleh Presiden Joko Widodo, dapat menggunakan sejumlah parameter, yakni usia para kandidat dan sistem bergilir antar angkatan.

Dari sisi umur, ketiganya memiliki peluang yang sama, karena hingga Desember 2022 masih memiliki waktu aktif antara satu hingga dua tahun. Jenderal Dudung Abdurachman, lahir pada 19 November 1965 atau berusia 57 tahun, Laksamana Yudo Margono lahir 26 November 1965 atau berusia 57 tahun dan Marsekal Fadjar Prasetyo lahir 9 April 1966 atau berusia 56 tahun.

Marsekal Fadjar Prasetyo adalah calon yang usia aktifnya paling lama, sekitar dua tahun. Meskipun ketiganya berbeda usia, namun mereka sama-sama merupakan lulusan Akademi TNI angkatan tahun 1988.

Sementara dari sisi sistem bergiliran antar angkatan, jika saat ini Panglima TNI dijabat oleh perwira tinggi dari Angkatan Darat, maka pada periode selanjutnya adalah peluang bagi perwira tinggi dari TNI Angkatan Laut atau TNI Angkatan Udara.

Hanya saja, Panglima TNI sebelum Jenderal Andika Perkasa sudah dijabat dari TNI AU, yakni Marsekal Hadi Tjahjanto. Hadi Tjahjanto, setelah pensiun dari TNI, dipilih menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang Indonesia/Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Melihat semua itu, maka yang berpeluang besar untuk dipilih oleh Jokowi adalah Laksamana TNI Yudo Margono, perwira tinggi dari korps pelaut yang pernah menjabat Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I ini.

Meskipun demikian, Presiden sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam UUD Nomor 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara Republik Indonesia, memiliki hak prerogatif untuk menentukan siapa yang akan dipilih untuk memimpin tentara dari tiga matra itu.

Selain itu, dalam sejarah di Era Reformasi, Panglima TNI berturut-turut dijabat oleh perwira TNI AD pernah terjadi, yakni saat Jenderal Moeldoko digantikan oleh Jenderal Gatot Nurmantyo.

Siapapun yang terpilih, tidak akan mempengaruhi sistem yang sudah mapan kuat di lingkungan TNI. TNI akan selalu solid dalam menjalankan tugasnya untuk bangsa ini, baik dalam rangka operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang. Demikian seperti dikutip dari Antara.***