YOGYAKARTA - Soal demokrasi yang saat ini ada di Indonesia, dinilai tidak efektif dan terlalu mahal. Bahkan Wakil Ketua MPR RI, Mahyudin sependapat dengan usulan Sri Sultan Hamengkubuwono X terkait kembalinya sistem demokrasi langsung menuju sistem demokrasi Pancasila dengan mengedepankan musyawarah mufakat.

Hal ini dikatakan Mahyudin saat membuka acara Press Gatering Pimpinan MPR dengan Koordinatoriat Wartawan Parlemen, Jumat (19/10/2018) di Eastparch Hotel, Yogyakarta.

"Sistem demokrasi langsung tidak berlangsung efektif ketika masyarakatnya masih banyak yang miskin," ujarnya.

Ia berpendapat, saat ini demokrasi masih terbilang mahal. Sehingga berdampak langsung kepada kualitas para pemimpin.

Di lain hal ada orang punya integritas dan kapasitas, tetapi tidak punya uang maka dia tidak bisa ikut dalam kompetisi demokrasi.

Saya setuju kalau demokrasi kita itu diamandemen lagi agar betul-betul kembali kepada demokrasi Pancasila," tegasnya.

Bahkan sejak reformasi bergulir kata Mahyudin, efek dari demokrasi yang mahal juga menjerumuskan beberapa kepala daerah mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur bahkan Angota DPR.

"Bayangkan saja, dengan pemilihan secara langsung, para calon ini harus menyediakan ongkos yang tidak sedikit. Ini pengalaman juga ya, ketika saya dianggap mampu menjadi Gubernur, saya itu berfikir panjang. Pertama setelah saya hitung-hitung itu biayanya tidak sedikit, untuk bayar saksi, baleho sampai pemilihan itu hampir 50 miliar lebih. Itu duitnya dari mana," tanya Mahyudin.

"Karena saya itu pebisnis, seandainya saya punya 50 miliar ketimbang nyalon Gubernur ya mending saya belikan kebun sawit hasilnya jelas," candanya.

Artinya kata Mahyudin, dengan biaya yang sangat mahal itulah, para calon terkadang nekat maju tapi menggunakan sponsor.

"Disini tentu tidak ada yang namanya makan gratis. Para sponsor tentu ingin usahanya aman, ingin tambangnya tidak jadi kasus, ingin semuanya, akhirnya apa? Ya setelah duduk kasus mulai bermunculan dan ujungnya dipenjara," tandasnya. ***