JAKARTA - Dalam lima tahun ke depan, diplomasi Indonesia diproyeksikan akan menjadi sangat sibuk. Indikasinya, Indonesia akan menjadi Ketua ASEAN pada 2023, dan akan menjadi Ketua G-20.

G-20, adalah sebuah forum global yang beranggotakan negara-negara maju yang menguasai perekonomian dunia.

Selain itu, Indonesia juga duduk sebagai anggota Dewan Keamanan dan Dewan HAM PBB, serta Organisasi Maritim Internasional.

Tantangan Organisasional

Dalam konteks ASEAN sebagai organisasi regional negara-negara kawasan Asia Tenggara, Indonesia menyandang status sebagai bagian dari Pendiri dan negara kunci. Namun demikian, status tersebut tidak serta-merta membawa keuntungan bagi Indonesia.

"Di sinilah tantangan yang harus dibuktikan Indonesia untuk menguji kredibilitas dan kapabilitas atas status yang disematkan tersebut," ujar Wakil Ketua MPR RI, Jazilul Fawaid, Kamis (16/1/2020).

Menurut Jazilul, tantangan ini tidaklah mudah meskipun kedaulatan masing-masing negara dibuhulkan dalam satu komitmen bersama. Komitmen Visi ASEAN 2020 juga dihadapkan pada situasi geopolitik kawasan yang memanas pasca Tiongkok melanggar hak berdaulat Indonesia di perairan Natuna Utara.

Dan menurut Jazilul, tindakan Tiongkok bisa menjadi modal soisial untuk mengukuhkan semangat satu ASEAN, "mengacu pada fakta bahwa Tiongkok sudah lama berkonflik dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya terkait klaim kedaulatan di Laut Tiongkok Selatan,".

Terkait G-20, forum yang beranggotakan 19 negara ekonomi maju ditambah Uni Eropa ini setidaknya menguasai 80 persen total perdagangan dan 90 persen produk nasional bruto dunia.

Dengan menjadi Ketua G-20, Indonesia dihadapkan pada dua tantangan besar. Pertama, tantangan regulatif dalam memitigasi potensi krisis finasial global. Kedua, tantangan pemerataan dan keadilan ekonomi bagi negara-negara berkembang lainnya di belahan dunia.

Selanjutnya, Indonesia yang akan menjadi Ketua DK PBB selama satu bulan pada Agustus 2020 nanti, juga dihadapkan pada fakta bahwa negara anggota tetap seperti Amerika Serikat dan Tiongkok masih gemar menempuh langkah unilateral ketimbang menghayati posisinya sebagai polisi global di DK PBB.

Aksi militeristik Amerika Serikat di Irak yang menewaskan perwira tinggi Iran, Qassem Soleimani misalnya, menjadi preseden buruk yang dapat menyeret banyak negara ke medan perang. Ditambah lagi dengan isu diskriminasi terhadap etnis Uyghur di Xinjiang, Tiongkok, menggelinding menjadi isu global.

Dalam konteks HAM, kata Jazilul, "Hal-hal yang sifatnya diskriminatif dan melanggar HAM tetap harus dieliminir,".

Diplomasi aktif dan Kontributif

Diplomasi, kata Jazilul, harus menempatkan kepentingan nasional sebuah negara melebur sebagai komitmen bersama dalam sebuah organisasi supranasional.

Diplomasi yang berkaitan dan kepentingan kedaulatan negara sedapat mungkin dilaksanakan secara tegas tapi lentur. Tegas artinya Indonesia tidak berkompromi dengan hal apapun yang berpotensi menggerus martabat bangsa, sedangkan lentur bermakna Indonesia menghindari perang dan penggunaan senjata dalam menyelesaikan konflik.

"Perang merupakan pilihan terakhir tatkala diplomasi menemui jalan buntu," tegas Jazilul.

Politisi PKB ini melanjutkan, berbagai tantangan global di bidang politik dan keamanan, mesti diselesaikan dalam kerangka organisasi di era multilateralisme saat ini.

Upaya menekan Tiongkok dalam kasus Natuna Utara misalnya, "akan memiliki daya gebrak yang besar apabila Indonesia mengartikulasikan kepentingan nasionalnya melalui kerangka ASEAN dan DK PBB,".

Dalam hal diplomasi ekonomi, keanggotaan di G-20 harus benar-benar dioptimalkan guna mendukung fundamental perekonomian Indonesia serta menopang ketahanan ekonomi kawasan.

Mencakup tiga diplomasi tersebut, Jazilul mengingatkan bahwa diplomasi membutuhkan citra domestik yang kuat. Semua imej yang dibangun di tataran internasional akan menjadi pudar apabila di level domestik stabilitas politik dan ekonomi tidak dapat dikendalikan dengan baik.

"Beberapa momen penting skala nasional yang akan dihelat tahun ini seperti Pilkada 2020 harus bisa dikelola dengan baik dan dikonversi menjadi modal diplomatik di panggung global," kata Jazilul.***