JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Management Produksi Film Indonesia (MPFI), Ferian merasa adanya ketidakadilan soal pelarangan syuting film/sinetron pada masa Pemberlakukan Sistem Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan pemerintah. Pasalnya, dia melihar MNC melalui In House MNC  tetap melakukan syuting beberapa sinetron di antaranya Dunia Terbalik, Tukang Ojek Pengkolan, Orang Miskin Baru dan Memet Terlanjur Kaya.

“Pemerintah dalam hal ini Kapolri harus tegas dan tidak bersifat tendensius dalam melarang bentuk kegiatan yang melibatkan banyak orang termasuk produksi/syuting pada masa pemberlakuan PSBB ini,” kata Ferian dalam siaran persnya yang diterima Gonews.co Group, Senin (27/4/2020).

Menurut Ferlian, adanya ketidakadilan itu dirasakan MPFI setelah relaksasi Izin syuting yang pernah diajukan ditolak pihak Mabes Polri. Padahal, MPFI bertujuan ingin memperjuangkan nasib dari pekerja harian yang terlibat dalam proses produksi/syuting. "Relaksasi izin MPFI ditolak, eh kok MNC dibiarkan terus memproduksi sinetron?," tanya Ferian.

Memang, kata Ferian, kegiatan syuting itu dilakukan di studio milik MNC. Tetapi, masalah kesehatan dan keselamatan pekerja film patut mendapat perhatian utama apalagi pemerintah sudah meluncurkan PSBB dalam upaya memutus mata rantai penyebaran Covid -19.

"Stasiun televisi lain saja sudah mematuhi aturan dari pemerintah untuk tidak melakukan kegiatan mengumpulkan massa lebih dari 5 orang. Janganlah berlindung di balik lembaga penyiaran yang masih memperbolehkan beroperasi dengan syarat tertentu," katanya.

"Kita kan semua sudah tahu bahwa pemerintah tidak memberikan bantuan sama sekali kepada pekerja film selama PSBB. Yang ada, kita hanya didata tanpa ada realisasi sampai saat ini. Jadi, jangan sampai muncul kecemburuan sosial," tambahnya.

Menurut Ferian, carut marutnya lembaga yang menangani perfilman menjadi faktor utama dalam masalah bagi pelaku pekerja seni, kru dan aktor film. Ditambah lagi, tidak adanya big Data pekerja film di indonesia.

"Tarik-menarik antara Kemendikbud dan Kemenparekraf membuat nasib pekerja film semakin miris. Belum lagi, Badan Perfilman Indonesia (BPI) bukannya bertindak sebagai regulator tapi jadi tempat penampungan asosiasi-asosiasi perfilman yang ada di indonesia," jelasnya. ***