DURI - Salah seorang pengusaha Bengkalis, Mahmudin Purba ternyata punya solusi baru dalam pengelolaan limbah berbahaya dari eksplorasi minyak, khususnya Chevron. Ketimbang limbah-limbah itu dibawa keluar daerah khususnya pabrik semen, lebih baik limbah itu dimanfaatkan untuk masyarakat guna pembuatan batu bata.

Kepada GoRiau.com, Jumat (10/8/2018), pengusaha perkebunan sawit di Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis itu mengungkapkan, selama ini Chevron mengirim limbahnya keluar daerah Riau, salah satunya untuk bahan di pabrik semen.

''Padahal jika diolah di sini oleh masyarakat tempatan, pastinya akan sangat membantu ekonomi masyarakat,dan yang tidak kalah pentingnya biaya pemusnahan limbah PT Chevron Pasifik Indonesia akan menurun drastis terutama dari ongkos angkut. Limbah B3 itu salah satunya bisa digunakan untuk pembuatan batubata,'' katanya. 

Dikatakan Mahmudin, ada baiknya perusahan menjalin kerja sama dengan perusahan yang berada di daerah Bengkalis dan memiliki izin yang cukup untuk mengelola limbah yang mereka hasilkan.

Pembakaran batu bata menggunakan kayu bakar atau batu bara juga menimbulkan masalah lingkungan tersendiri, yaitu polusi udara akibat timbulnya gas karbondioksida (CO2) yang tidak ramah lingkungan.

"Selain mengurangi polusi udara, pembuatan batu bata tanpa pembakaran dapat mengurangi biaya pembuatannya, tidak berketergantungan dengan cuaca, namun menghasilkan produk dengan kualitas standar, murah, praktis dan ramah lingkungan. Makanya peluang usaha ini yang bisa kita lihat dari pemanfaatan limbah Chevron," kata Ketua DPD Partai NasDem Bengkalis. 

Menurut Mahmudin, jika Chevron tak lagi mengirim limbahnya keluar daerah, maka melalui tangan-tangan trampil warga di Duri ini, limbah Chevron itu bisa diolah menjadi nilai yang sangat ekonomis.

Ramah Lingkungan

Dikatakannya, di Riau, permasalahan pencemaran lingkungan seolah tak ada habisnya, terutama masalah pencemaran limbah beracun dan berbahaya (B3) Terutama sisa operasi dari hasil pengeboran. Sesuai dengan definisinya yang termuat dalam peraturan perundangan (PP Noomor 19 Tahun 1994), limbah minyak bumi dikategorikan sebagai limbah B3  (Bahan Berbahaya dan Beracun).

Dalam peraturan ini (pasal 5 dan 6) menyebutkan bahwa setiap penghasil limbah B3 wajib melakukan pengolahan  sebelum limbah  tersebut  dibuang atau dilepas ke alam.

"Alternatif pemecahan permasalahan limbah minyak bumi, dimana limbah minyak bumi dapat diolah secara fisika (pembakaran), kimia (reaksi kimiawi) dan biologis (bioremediasi)," tambahnya.

Kedua cara pertama disamping relatif mahal, juga tidak memecahkan masalah sampai tuntas karena masih menghasilkan limbah yang bahkan lebih pekat (concentrated). Cara biologis (bioremediasi) dengan menggunakan agen (sendiri) hayati, diakui sebagai cara yang paling baik disamping prosesnya relatif lebih murah juga bersifat ramah lingkungan. Berbagai jenis mikroba telah dikembangkan sebagai agen bioremediasi limbah minyak bumi.

"Salah satu cara mengatasi pencemaran limbah B3 itu dengan konsep green technology, pertama Recovery Oil, mekanikal sistem (pemishan antara minyak dan yang bukan minyak: recovery oil, air dan solid ) hal ini bersifat ex situ, di luar kawasan perusahaan (biaya pengolahannya masih relatif mahal)," ujar Mahmudin.

Masih dilanjutkan Mahmudin, secara biologi (Bioremediasi) hidrokarbonoklastik penggunaan penggunaan bakteri mikroba hidrokarbonoklastik yang mengubah minyak bumi diubah menjadi senyawa yang ramah lingkungan. Hal ini bisa dilakukan secara in situ atau ex situ (biaya pengolahannya murah tapi waktu proses panjang dan memakan tempat).

"Ketiga, biologycal mekanikal, proses gabungan antara keduanya yang mana kerja dari bakteri dipercepat dengan proses mekanikal. Setelah proses solid yang dihasilkan bisa dijadikan batu bata. ***