AFRAH ALSHAIBANI adalah nama yang dipilihnya setelah menjadi mualaf (memeluk agama Islam). Anehnya, Afrah memutuskan bersyahadat saat dirinya belum meyakini kebenaran ajaran Islam.

Dikutip dari Republika.co.id, sebelum mualaf, Afrah merupakan penganut Kristen. Dia lahir dan dibesarkan di tengah keluarga Kristen yang taat. Setiap pekan, ia beserta keluarganya rutin ke gereja. Afrah bahkan menjadi anggota paduan suara gereja.

Memasuki usia dewasa, Afrah mulai mempertanyakan apa yang ia yakini. Mulanya ia merasa doktrin gereja selalu benar, sehingga tidak ada yang perlu dipertanyakan.

Afrah mempertanyakan, seandainya doktrin itu benar mengapa agama yang dianutnya memiliki aliran yang berbeda-beda, seperti ada Metodis, Lutheran, Katolik dan lainnya. ''Jadi bagaimana kita tahu mana yang tepat?'' tanya Afrah.

Dari pertanyaan itu, Afrah berpikir untuk mencoba mencari kebenaran hakiki. Beragam cara ia lakukan, termasuk mempelajari studi perbandingan dari berbagai gereja.

''Saya pun memutuskan percaya Alkitab dan bergabung dengan gereja yang mengikuti Alkitab. Saya juga menjadi anggota Gereja Kristus,'' ujarnya, dilansir di Muslim Library.

Satu tahun Afrah menghabiskan waktu di Michigan Christian College, sebuah perguruan tinggi yang berafiliasi dengan Gereja-Gereja Kristus. Setelah itu, Afrah melanjutkan studinya ke Western Michigan University.

''Meskipun teman sekamar saya adalah orang Amerika, saya merasa dikelilingi oleh orang-orang aneh dari tempat-tempah aneh. Inilah pengalaman pertama saya dengan keragaman budaya. Hal itu, membuatku takut,'' cerita Afrah yang mengaku sempat berencana berpindah asrama.

Meski gagal menemukan teman sekamar yang ideal, akhirnya Afrah bertemu dengan komunitas Arab yang bertempat tinggal di dekat asrama. Mereka begitu menarik perhatian. Mereka orang-orang yang ramah sehingga mengobati kegugupan Afrah menghadapi perbedaan.

''Teman sekamar saya mulai berkencan dengan satu dari mereka, dan akhirnya kami menghabiskan sebagian besar waktu dengan orang Arab. Saya kira mereka adalah Muslim, meski terdapat nada keraguan. Kami tidak pernah membahas agama, kami hanya bersenang-senang,'' ujarnya.

Tahun terus berlalu. Persinggungan Afrah dengan komunitas Arab kian intensif. Hal itu yang membuatnya mulai absen menghadiri kebaktian gereja. Di dalam hatinya, ada perasaaan bersalah. Ia coba abaikan masalah itu. ''Aku pun tetap bersenang-senang,'' katanya.

Pada liburan musim panas, Afrah memutuskan berlibur. Namun, ada satu kejutan datang sebelum ia pergi, teman sekamarnya masuk Islam. ''Aku merasa takut saat itu. Mengapa ia tidak memberitahuku,'' kenang Afrah.

Merasa terkejut dengan kabar itu, Afrah memutuskan menulis surat kepada temannya tersebut. Dalam surat itu, Afrah mengatakan, temannya telah menghancurkan dirinya sendiri, tapi gereja masih memberikan kesempatan kepadanya untuk bertaubat.

Tepat musim panas, Afrah bersama kekasihnya memutuskan pindah ke Azusa Pacific University (APU) di Kalifornia. Di sana, Afrah menikah. Suaminya Muslim, namun sejak mereka dekat keduanya tidak saling membahas agama dan cenderung jarang mempraktikkan ibadah.

Meski tidak membahas masalah agama, Afrah diam-diam mulai membaca buku tentang Islam. Namun, buku-buku itu ditulis oleh penulis non-Muslim. Salah satu buku yang dibacanya adalah karya Anis Sorosh.

''Aku merasa bersalah karena gagal mencegah temanku memeluk Islam. Seharusnya, ia berpaling pada gereja bukan Islam. Sebab, saat itu aku berpikir Islam adalah agama buatan manusia. Aku pikir dengan membaca buku ini, aku dapat mengembalikan temanku kepada Kristen,'' ujar Afrah.

Di APU, sang suami memilih jurusan agama. Setelah menghadiri kelas, ia mengatakan kepada Afrah, semakin kuat niatnya belajar agama Kristen maka akan semakin dekat baginya untuk memeluk Islam.

''Kami berdua mulai berdebat tentang agama. Ia mengatakan padaku untuk belajar tentang Islam. Aku berkata padanya, tentang pengetahuanku soal Islam,'' ujar Afrah.

Melihat tanggapan Afrah, sang suami memintanya belajar tentang Islam langsung dari penulis Muslim. Sejumlah buku Islam karya penulis Muslim diserahkan pada Afrah. Selanjutnya, ia diajak suaminya untuk belajar tentang Islam di sebuah masjid lokal. 

''Pertanyaanku waktu itu, apa perbedaan belajar langsung dari Muslim dan non-Muslim?'' katanya.

Akhirnya, Afrah memutuskan mengucapkan dua kalimat syahadat. Di awal Afrah merasa begitu berat. ''Aku belum tahu apakah Islam itu benar. Aku merasa malu. Tapi akhirnya, aku merasa keputusan itu merupakan yang terbaik,'' ujarnya.

Perjalanan Afrah menjadi Muslimah membutuhkan waktu bertahun-tahun. Kondisi itu tidak terlepas dari banyaknya asumsi yang muncul dalam pemikirannya. Yang pasti, alasan utama dia menjadi Muslim bukanlah karena mengikuti sang suami. Justru dia kemudian bercerai dengan suaminya setelah menjadi mualaf.

Di balik masalah yang dihadapinya, keislaman Afrah semakin kuat dan dalam. Namun sebelum memeluk Islam, dia sempat memiliki pemikiran yang berbeda.

Dahulu dia berpikir kebenaran itu milik agama Kristen. ''Tidak pernah terpikir olehku untuk mencari kebenaran di luar Kristen,'' ungkapnya.

Kemudian dia merasa Alkitab merupakan firman Allah sejati. ''Ini adalah asumsi yang buruk. Sebab, gereja melarangku untuk berpikir objektif. Ketika mempelajari Islam, aku harus memulai dari awal. Saat itulah sikap kritisku tersalurkan. Sebab, Islam menerima segenap pendapat, Islam pun menjawab semua pertanyaanku,'' ujarnya.

Pandangan negatif juga dirasakannya terhadap Islam, bahwa Islam tidak menghargai perempuan dan lebih memihak laki-laki. ''Hal sebenarnya adalah laki-laki memegang peranan penting dalam keluarga. Tapi Perempuan juga memiliki tanggung jawab yang sama pula. Jadi, ada semacam keseimbangan yang dibangun dalam Islam,'' ujarnya.***