PEKANBARU - Lembaga Kesultanan Siak Sri Indrapura yang merupakan wadah kekeluargaan zuriyat sah Kesultanan Siak Sri Indrapura mengutus perwakilan yakni H Tengku Syed Muhammad Amin dan Tengku Muhammad Toha bergelar Timbalan Mangkubumi Mangkudiraja untuk menghadiri Acara Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Panitia Kerja (Panja) Migas Komisi VII DPR RI tentang alih kelola WK Migas Rokan, pada Selasa tanggal 9 Februari 2021 di Gedung DPR RI Jakarta.

Dalam rilis yang diterima GoRiau.com dan ditandatangi oleh H Tengku Mohktar Anom bergelar Mangkubumi Mangkudiraja, pewaris sah zuriyat Kesultanan Siak Sri Indrapura merasa perlu dan berkepentingan untuk hadir memperjuangkan hak mendapatkan previlledge pada pengelolaan WK Migas Rokan dalam rapat yang digelar oleh Panja Migas Komisi VII DPR RI ini.

Pasalnya, selama ini, eksploitasi migas dilakukan di wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura, khususnya yang kini berada di wilayah Provinsi Riau, hampir tidak pernah menyentuh dan memperhatikan keluarga zuriyat Kesultanan Siak.

Lembaga Kesultanan Siak juga menyayangkan sikap Pemprov Riau yang tidak mengajak duduk bersama dalam proses alihkelola WK Migas Rokan, apakah itu untuk menelusuri sejarah Sultan Siak ke-12 yang pertama kali memberikan izin eksplorasi dan eksploitasi migas di Riau ataupun mendengarkan dan meminta aspirasi dari keluarga pewaris sah zuriyat Kesultanan Siak Sri Indrapura.

Sebagaimana diketahui, Tengku Sulung Syarif Kasim (Sultan Siak ke-12) dengan gelar Assayaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani (Sultan Syarif Kasim II), lahir di Siak Sri Indrapura, pada tarikh 1 Desember 1893 dan meninggal di Rumbai, Pekanbaru - Riau, pada tarikh 23 April 1968 dalam usia 74 tahun.

Sultan Syarif Kasim II merupakan seorang pendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Tidak lama setelah proklamasi, dia menyatakan bahwa Kesultanan Siak Sri Indrapura bergabung dengan Indonesia dan menyatakan wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura yang wilayahnya mulai dari Sumatera Timur, meliputi Kerajaan Melayu Deli Serdang Bedagai hingga Provinsi Riau dan Kepulauan Riau saat ini, sebagai bagian wilayah Indonesia, dan dia menyumbang harta kekayaannya sejumlah 13 juta gulden untuk Pemerintah Republik (setara dengan US$ 151 juta atau € 69 juta euro pada tahun 2011).

Bersama Sultan Serdang, Sultan Syarif Kasim juga berusaha membujuk raja-raja di Sumatera Timur lainnya untuk turut memihak Republik Indonesia.

Sumbangan Sultan Siak itu merupakan sumbangan terbesar kerajaan-kerajaan di nusantara kepada Negara Republik Indonesia yang saat itu bagaikan bayi baru lahir. Dibandingkan dengan Kesultanan Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono IX hanya menyumbangkan 6,5 juta Gulden Belanda untuk modal perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Sultan Syarif Kasim II pernah mengeluhkan nasibnya saat melihat Kesultanan Deli maju pesat setelah dilepaskan dari Kerajaan Siak Sri Indrapura oleh Belanda. Tanah Deli yang awalnya tidak punya apa-apa, dikembangkan oleh Belanda menjadi distrik pertanian ekspor paling kaya di seluruh Nusantara.

Dari sanalah, timbul pemikiran dan tekad Baginda Sultan Syarif Kasim II untuk mengelola SDA berupa Emas Hitam (Migas) demi kemakmuran masyarakatnya. Kisah tersebut ditulis oleh Richard H Hopper dalam buku Ribuan Tahun Sumatera Tengah ~ Sejarah Manusia, Rempah, Timah & Emas Hitam (2016).

Izin penambangan minyak bumi pertama di Riau diberikan oleh Sultan Siak ke-12, Sultan Syarif Kasim II, kepada perusahaan minyak asal Amerika N.V. Nederlandsche Pacific Petroleum Maatschappij (NPPM) pada tahun 1930.

NPPM merupakan perusahaan patungan Standard Oil Company of California (Socal) dengan Texas Oil Company (Texaco). Pada dekade 1970-an, NPPM berubah nama menjadi PT. Caltex Pacific Indonesia (PT. CPI). Sebenarnya, saat itu Kerajaan Siak sudah menikmati pendapatan dari minyak bumi yang diberikan oleh perusahaan minyak Nederlandsche Pacific Petroleum Maatschappij (NPPM).

Namun, Siak selaku tuan rumah hanya menerima bagian berupa empat persen pajak penghasilan para buruh minyak yang bekerja di wilayah kesultanan. Sultan pun tidak bisa apa-apa ketika melihat Tanah Deli, yang kini bernama Medan, Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara, menjadi lebih kaya.

"Alangkah pahitnya kenyataan ketika melihat Sultan Deli hidup dalam istana megah di kota yang indah. Sementara Sultan Syarif Kasim II masih tersuruk dalam keterasingan di perkampungan Siak yang sama sekali tidak ada jalan raya," tulis Hopper dalam bukunya.

Sejarah akhirnya mencatat, bahwa wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura, yang kini menjadi Provinsi Riau, adalah salah satu penghasil minyak bumi terbesar di dunia. PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI), beroperasi di wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura.

Salah satu lapangan yang dikelola, yakni Lapangan Minas yang terkenal karena menghasilkan minyak berkualitas tinggi, Sumatran Light Sweet Crude Oil.

Menilik dari kronologis fakta sejarah tersebut dan mengingat bahwa sejak Sultan Syarif Kasim II memberikan izin untuk mengeksploitasi Migas di wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura sampai saat ini, Keluarga Besar Keturunan (zuriyat) Kesultanan Siak Sri Indrapura tidak pernah mendapatkan perhatian dan apresiasi yang wajar dan proporsional atas produksi Migas yang telah dieksploitasi di atas bumi wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura.

Yang Dipertuan Besar Assayaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Saifuddin (Sultan Syarif Kasim II) dengan segala kontribusi dan nasionalisme yang telah diberikan, adalah sangat patut dan pantas untuk diapresiasi. Jika Indonesia bisa memberikan keistimewaan kepada Aceh dan Papua, karena mereka "berani melawan", tentu negara dapat pula memberikan hal yang sama kepada Riau karena "berani menunjukkan kebaikan hati".

Yang "berani melawan" pantas mendapat perhatian, dan "yang baik hati" pantas pula diberikan penghargaan. Jika tidak, maka Indonesia akan mewariskan sebuah tradisi dan pelajaran yang buruk, bahwa hanya dengan "berani melawan" perhatian baru didapatkan. Ketidak-arifan dan ketidakadilan bersikap ini akan menjadi sumber kecemburuan dan keretakan negeri zaman berzaman. (rls)