PEREMPUAN adalah tiang negara, apabila dia baik maka baiklah negara, dan apabila dia rusak maka rusaklah negara itu. Kutipan suatu pernyataan Ir. Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia.

Sejarah bangsa Indonesia hingga saat ini telah mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial, yang disebabkan oleh perilaku yang tidak adil dan diskriminatif, salah satunya atas dasar ketidaksetaraan gender. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia, baik secara vertikal (yang dilakukan oleh penyelenggara negara terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun secara horizontal (antara warga negara itu sendiri). Padahal, untuk melindungi, menjaga, dan meningkatkan harkat dan martabat manusia, perlu diakui dan dilindungi hak asasi manusia, salah satunya hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Karena tanpa itu manusia akan kehilangan watak dan martabatnya, sehingga dapat mendorong manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus).

Undang-undang Hak Asasi Manusia secara tegas telah mengatur dalam Pasal 3 ayat (3) bahwa setiap orang, dalam hal ini termasuk perempuan, berhak atas perlindungan hak asasi manusia tanpa diskriminasi. Selain itu, Indonesia juga menjamin hak-hak perempuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Perempuan juga diberi hak untuk memperjuangkan pengembangan diri guna membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Oleh karena itu, tidak dapat disangkal bahwa hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang layak juga merupakan hak asasi manusia yang tidak boleh dihilangkan oleh siapapun dan dalam keadaan apapun. Hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang layak harus benar-benar dihormati, dilindungi dan dijunjung tinggi. Oleh karena itu, pemerintah, aparatur negara dan pejabat publik lainnya memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menjamin penghormatan, perlindungan, dan penegakan hak-hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Kemerdekaan Perempuan Untuk Menentukan Pilihannya dalam PendidikanGoNews Raden Ajeng Kartini, pahlawan Raden Ajeng Kartini, pahlawan nasional pejuang hak-hak perempuan. (gambar: ist./kompas.id)

Pada bulan September 1903, Kartini menulis memorandum publik keempatnya terkait dengan pencariannya akan pendidikan. Ini mendefinisikan jalur baru yang dia rasionalkan untuk mencapai tujuannya. Melalui petisi ini, Kartini menekankan pentingnya sekolah untuk anak perempuan. Pendidikan merupakan sektor yang sangat penting bagi kemajuan suatu bangsa. Pendidikan di Indonesia didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran untuk secara aktif mengembangkan potensi dirinya agar memiliki pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Undang-undang Hak Asasi Manusia telah menjamin bahwa perempuan juga berhak atas perlindungan untuk pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan diri, dan meningkatkan kualitas hidupnya sehingga menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia. Hak-hak perempuan juga dijamin untuk berkembang dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan untuk kesejahteraan pribadi, bangsa, dan kemanusiaannya. Pasal 48 UU Hak Asasi Manusia bahkan menjamin bahwa perempuan berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam pekerjaan, jabatan dan profesi sesuai dengan peratura yang berlaku di Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa perempuan berhak atas pendidikan, tidak dapat dibatasi & dikurangi. Harus diakui, ditegaskan dan diterapkan secara maksimal bahwa hak asasi perempuan untuk memperoleh pendidikan yang layak merupakan hak dasar yang melekat pada diri perempuan, bersifat universal dan tradisional, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi. , atau diambil oleh siapa pun.

Tantangan Perempuan dalam Dunia Pendidikan

1. Masalah Kesetaraan Gender

Tidak dapat disangkal bahwa sampai saat ini, dalam dunia yang sangat patriarki di Indonesia, masih terdapat penekanan pada hak-hak laki-laki atas perempuan. Sejak kecil, orang terbiasa dengan pepatah "perempuan pada akhirnya akan bekerja di dapur dan di tempat tidur". Sehingga banyak keluarga yang masih mengutamakan pendidikan bagi anak laki-lakinya, dengan alibi sebagai calon pemimpin, dibandingkan dengan anak perempuannya. Kegelapan ini terus berlanjut hingga akhirnya dianggap sebagai kondisi normal oleh masyarakat, dan ini merupakan situasi yang berbahaya bagi pertumbuhan dan perkembangan suatu negara. Dalam hal ini, perubahan perlu dilakukan. Perubahan bukan untuk mengesampingkan kodrat perempuan, tetapi untuk mempertahankan hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Perubahan harus dilakukan agar hak yang diterima perempuan sama dengan yang diperoleh laki-laki, terutama dalam hal pendidikan. Adanya persamaan hak ini pada akhirnya akan mengakhiri isu ketidaksetaraan gender. Dengan berakhirnya isu ketimpangan gender, masyarakat akan terbiasa dengan posisi perempuan terpelajar yang mampu memperbaiki kondisi keluarga dan mendidik anak dengan baik.

2. Keterbatasan Fasilitas dan Infrasturktur

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melaksanakan program Merdeka Belajar untuk membawa pembangunan pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik. Program ini berfokus pada sistem belajar mengajar yang lebih dinamis. Nantinya, guru diberi kebebasan untuk merancang berbagai metode pembelajaran sekreatif mungkin. Dengan harapan para peserta didik dapat merasakan suasana belajar yang efektif, interaktif dan tidak membosankan. Namun, ada beberapa tantangan mendasar bagi pendidikan di Indonesia antara lain soal pemerataan akses terhadap sumber daya pendidikan di pedesaan Indonesia dan kesenjangan antara kota dan pedesaan dalam kualitas pendidikan di Indonesia cukup lebar.

Salah satu pengubah akses adalah teknologi internet dan bahasa Inggris. Peningkatan mutu dan kualitas guru juga menjadi keharusan. Kedua faktor fundamental tersebut dapat mengurangi hambatan materi pendidikan dan dapat menjadi solusi sarana dan prasarana di bidang pendidikan.

3. Pola Pikir Progresif Perempuan

Perjuangan untuk mengubah pola pikir harus dilakukan setiap hari dan tidak hanya menjadi kampanye semu satu hari dalam setahun. Ada banyak bentuk diskriminasi, mulai dari diskriminasi agama, diskriminasi etnis dan diskriminasi gender. Setiap hari harus menjadi hari kemerdekaan bagi perempuan untuk mengakhiri diskriminasi dan mencapai kesetaraan berbasis gender dan emansipasi perempuan.

Perempuan membutuhkan pendidikan yang lebih tinggi karena mereka akan mewariskan kehalusan dan keilmuan mereka kepada anak-anak mereka: kepada putri-putri mereka, yang akan menjadi ibu bagi putra-putra mereka yang akan dipanggil untuk membantu menjaga kesejahteraan rakyat. Dan sebagai orang-orang yang tercerahkan secara intelektual dan spiritual, mereka akan membantu rakyat dan masyarakat mereka dalam berbagai cara. Perempuan akan menjadi sistem pendukung internal bagi pendidikan bangsa.

4. Stigma Perempuan Di Tengah Masyarakat

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian masyarakat kita memiliki ego yang relatif tinggi dan jarang berani mendekati wanita yang memiliki pendidikan lebih tinggi dari mereka. Banyak pria lebih memilih memiliki pasangan yang pendidikannya setara atau setingkat di bawahnya. Mengacu pada pernyataan ini akan tergantung pada wanita itu sendiri. Jika seorang wanita dan tinggal di Indonesia dan berharap untuk memiliki jodoh untuk orang Indonesia, maka lumrah jika disimpulkan bahwa 'pendidikan tinggi' akan menjadi penghalang yang meskipun tidak besar tetapi cukup sulit untuk Anda taklukkan.

Namun, jika wanita itu mandiri dan percaya bahwa perempuan memang pantas mendapatkan pasangan yang setara denganya, maka mengejar mimpi setinggi langit bukanlah hal yang janggal. Banyak pria yang membuka mata terhadap masalah ini entah juga mengejar pendidikan tinggi atau tidak peduli dengan status pendidikan pasangannya.

Pendidikan yang Membangun Moral

Secara keseluruhan, pendidikan melalui perempuan merupakan mata rantai bagi pemerintah dalam mempersiapkan kecerdasan bangsa agar negara bisa lebih maju. Namun, seseorang tidak boleh terlalu keras pada individu-individu yang karakter moralnya tetap kasar dan tidak murni. Dalam kebanyakan kasus, kesalahan tidak terletak pada masyarakat tetapi pada pendidikan mereka. Perkembangan intelektual mereka sangat diperhatikan, tetapi apa yang telah dilakukan untuk melatih karakter mereka? Tanpa dimasukkannya pendidikan moral, bahkan sistem pendidikan terbaik pun tidak dapat diharapkan mencapai hasil yang maksimal. Masyarakat sangat membutuhkan perbaikan landasan moralnya, yang tanpa dukungan pemerintah, maka tidak akan maksimal betapapun baik niatnya. Sebab niat yang baik saja tidak cukup, harus didukung dengan eksekusi yang maksimal dengan dukungan terbaik dari para pemangku kebijakan.

Penulis:

Sonya Tobing, S.H., Country Manager Indonesia – Cambridge Assessment English dan Aktivis Pendidikan, bersama Rima Baskoro, S.H., ACIArb., Co-founder Toma Maritime Center dan Wasekjen Komite Advokat Muda PERADI