JAKARTA - Sayup-sayup doa terdengar dari dalam musala sederhana. Terbuat dari terpal berkelir biru beralaskan karpet. Tak pernah sepi. Tiap saf terisi. Mereka bukan jemaah biasa. Melainkan para pengungsi Rohingya di Indonesia. Berdoa demi keselamatan keluarga dan kerabat masih tertahan di Myanmar, negara asalnya. Keadaan ini menyusul kembali terjadinya konflik di sana.

Doa masih dipanjatkan. Hingga air mata menetes. Terasa khusyuk. Dari dalam musala sederhana tanpa nama. Mereka gelisah. Hanya bisa mendoakan. Meminta kepada Sang Pencipta melindungi keluarga mereka dari pelbagai serangan. Sekaligus menitip rasa kerinduan kedamaian kampung halaman.

Keberadaan pengungsi di Rohingya sudah sejak 2009 silam. Mereka berada di wilayah Medan, Sumatera Utara (Sumut) dan Sidoarjo, Jawa Timur. Kami mendatangi dua lokasi tempat warga Rohingya itu mengungsi. Di bawah naungan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), organisasi internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Mereka mendapat hidup cukup layak. Mulai dari orang dewasa hingga anak-anak.

Untuk di wilayah Sumut, mereka tersebar di enam titik pengungsi. Beberapa kami datangi. Salah satunya di Hotel Beraspati, lokasi musala beratap tenda biru itu berdiri. Selain itu Hotel Pelangi di Jalan Djamin Ginting, Hotel Top Inn di Tanjung Selamat, Wisma YPAP I di Jalan Bunga Cempaka, Graha Ayura di Lubuk Pakam, Deli Serdang. Terakhir, lokasi penampungan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Medan.

Banyak hotel itu disulap menjadi tempat tinggal. Bentuknya bukan gedung. Namun. memiliki banyak kamar. Persis petakan rumah kontrakan. Beberapa kamar hotel juga dimodifikasi. Seperti di Hotel Top Inn. Pengungsi menutup bagian garasi dengan kayu tripleks atau seng. Sehingga memberi mereka ruang tempat tinggal lebih besar. Tak lagi tampak seperti penginapan. Hampir tiap rumah selalu ada jemuran pakaian.

Tiap kamar diisi satu keluarga. Sedangkan para bujang dipisah. Mereka digabung. Paling sedikit sekamar bertiga. Sebanyak 127 pengungsi Rohingya ditempatkan di Hotel Beraspati, 155 pengungsi di Hotel Pelangi, 61 pengungsi di Hotel Top Inn, 72 pengungsi di Wisma YPAP I, dan 2 pengungsi lainnya di Graha Ayura. "Total terdapat 435 pengungsi Rohingya yang ada di Sumatera Utara yang tersebar di 6 lokasi itu," kata Kepala Rudenim Medan, Abdul Karim, kepada merdeka.com, Jumat pekan lalu.

Para pengungsi tidak memiliki pekerjaan. Mereka memang dilarang bekerja di Indonesia. Bahkan diberi batas waktu bila keluar dari pengungsian. Mereka wajib kembali pukul 8 malam. Tapi tak perlu khawatir. Kebutuhan hidup mereka cukup. PBB langsung turun tangan dalam pemberian dana pengungsi. Selama ditampung di pengungsian. Sekaligus menunggu kejelasan soal keberangkatan menuju negara ketiga, Australia. Mereka tengah berjuang mendapat suaka. Setelah kabur jauh dari Rohingya.

Para pengungsi tercatat datang sejak 8 tahun lalu, umumnya mendapatkan duit bulanan. Untuk dewasa diberi Rp 1,25 juta per orang. Sedangkan anak-anak Rp 500 ribu per orang. Fasilitas juga lengkap. Ada sarana berolahraga. Uang dan fasilitas diperoleh dari UNHCR itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari selama dalam pengungsian. "Ada keluarga yang mendapat Rp 6 juta sebulan," ujar seorang petugas Imigrasi.

Fasilitas milik hotel cukup lengkap. Listrik, air hingga jaringan internet. Semuanya dimanfaatkan dan gratis. Terutama keberadaan internet. Begitu penting. Guna mengetahui kabar terkini keluarga mereka. Seperti dilakukan Sayeed Kamal. Pemuda 17 tahun itu sangat sumringah di pintu lobi Hotel Pelangi. Senang karena bisa melakukan video call dengan keluarganya di Buthidaung, Rakhine State, Myanmar.

"Ini ibu saya, ini kakak saya," kata Sayeed kepada kami sambil tertawa dan melanjutkan komunikasi dengan keluarganya. 

Pemuda ini tak mau berhenti melakukan video call. Pergi dari kampung halamannya saat berusia 15 tahun, membuatnya begitu rindu. Bahkan saat baterai ponselnya melemah. Dia bergegas mencari colokan listrik dan bersandar di dinding. Agar video call jalan terus. Dari komunikasi dengan keluarganya, Sayeed lega. Mengetahui keluarganya dalam keadaan baik. Tidak ada pembakaran rumah warga di sekitar tempat tinggalnya.

Untuk melakukan video call, para pengungsi Rohingya umumnya menggunakan aplikasi IMO. Mereka juga memantau dariFacebook dan Whatsapp. Menurut mereka aplikasi itu paling popular di daerahnya. Didukung jaringan internet tersedia di hotel sangat membantu Sayeed dan pengungsi Rohingya lainnya. Namun terkadang mereka harus membeli paket data.

Masalahnya bukan jaringan internet di Indonesia. Tetapi di kampung halaman mereka. Para pengungsi menyatakan pemerintah Myanmar terkadang memutus jaringan telekomunikasi. Sehingga mereka tidak dapat setiap waktu melakukan kontak dengan keluarga. "Sudah 10 hari coba, baru hari ini berhasil (video call)," ungkapnya.

Pengungsi Rohingya lainnya terus berupaya menghubungi keluarganya di Myanmar. Menyusul meningkatnya kabar kekerasan di kampung halamannya. Namun, banyak pula pengungsi kurang beruntung. Mereka belum bisa mengetahui kabar keluarganya. 

Hairul Bashar (23), misalnya. Pengungsi Rohingya ditampung di Hotel Top Inn, ini hanya pasrah. Belum mengetahui kabar kedua orang tua dan para saudaranya di Boli Bazar, Maungdaw, Rakhine. Dia hanya mendengar keluarganya pergi mengungsi. Sebab banyak rumah di kampungnya dibakar. "Sampai sekarang tidak ada kabar," ujar Bashar.

Nasib tidak beruntung dirasakan para pengungsi baru datang sejak 2014 lalu. Mereka tak dapat jatah duit bulanan. Hanya menerima katering makan saban hari. Tercukupi. Sehari tiga kali. Itu belum ditambah paket mingguan dan bulanan. Berisi pelbagai kebutuhan pokok. Mulai dari mi instan, gula, susu, sabun, kopi, dan lainnya.

Tak habis akal. Mereka butuh dana segar. Terutama untuk menghidupi keluarganya. Pelbagai paket bahan pokok itu akhirnya banyak dijual. Itu cara paling mudah. Sebab mereka dilarang bekerja. Sehingga terpaksa putar otak cari penghidupan. Uang diperoleh pengungsi itulah digunakan untuk aktivitas sehari-hari. Meski tidak kekurangan, cuma hanya ingin kepastian. Kapan waktunya mereka diberangkatkan menuju negara pemberi suaka.

"Untuk mendapatkan uang, sebagian pengungsi menjualnya kepada rekan mereka," jelas Djarot Anggoro (50), petugas keamanan Hotel Beraspati seperti dikutip GoNrws.co dari merdeka.com.

Kondisi hampir mirip juga dirasakan pengungsi Rohingya di Sidoarjo. Di sana lebih kurang diisi 13 orang pengungsi. UNHCR menampung mereka di Apartemen Sederhana (Aparna). Berlokasi di komplek Puspa Agro Sidoarjo. Hidup mereka ditanggung. Nyaman. Tak harus merasa ketakutan. Duit bulanan didapat juga sama seperti pengungsi Rohingya di Sumut.

Sambil menunggu negara tujuan suaka, mereka berbaur dengan sesama imigran dari negara lain. Seperti dari Sudan, Afghanistan, Iran, Somalia, dan masih banyak lagi. Kepentingan mereka sama. Mencari suaka. Sehingga kewarganegaraan jelas. Semua dilakukan setelah negara mereka dilanda konflik.

Kekecewaan mendalam terhadap negara Myanmar begitu mendalam. M. Suaib (31), salah seorang pengungsi Rohingya meminta pemerintah melalui Presiden Joko Widodo tak menyalurkan bantuan langsung kepada saudaranya melalui pemerintah Myanmar. Dia merasa percuma. Sebab beberapa kali bantuan dari pemerintah Indonesia diduga tak pernah sampai.

"Saya pesan kepada pak Jokowi ya, ini bisa buat pelajaran. Jangan kirim bantuan melalui pemerintah Myanmar kepada saudara kami yang di sana (Rohingya), karena setelah berfoto seolah-oleh memberikan, bantuan tersebut diambil lagi dan tidak disalurkan. Kalau mau bantu, langsung saja ke sana," terang Suaib.

Kaburnya dari negara asal, bukan tanpa tujuan. Mereka lelah. Hidup di tengah konflik membuat mereka gerah. Terpaksa kabur dan berharap hidupnya makmur. Harapan terutama mereka kini mendapat status kewarganegaraan. Semua dibutuhkan. Untuk masa depan kelak. Bukan untuk diri sendiri. Tapi juga anak dan keluarga mereka nanti.

Walau merasa aman di pengungsian, mereka tetap gelisah. Bahkan merasa iri. Karena pengungsi negara lain tak perlu menunggu waktu lama. Mereka sudah diberangkatkan ke negara tujuan suaka. Terkadang mereka merasa kecewa. Tak perlu waktu lama mendapat tiket suaka. Namun, berbeda dengan pengungsi Rohingya. Tiap tahun harus merasakan hal sama. Menyandang status pengungsi di Indonesia.***