Shalat merupakan identitas keagamaan yang mengiringi kehidupan setiap muslim. Bagi seseorang yang baru masuk Islam, shalat merupakan kewajiban pertama setelah mengucap dua kalimat syahadat. Sedangkan bagi manusia yang terlahir dalam agama Islam, kelahirannya diiringi dengan suara azan yang merupakan panggilan shalat. Ketika tumbuh menjadi anak, ia diajarkan tata cara mengabdi penuh syukur kepada sang Maha Pencipta dengan harapan agar mendirikan shalat lima waktu setiap harinya hingga ajal menjemput.

Melekatnya kewajiban shalat kepada setiap muslim menempatkannya sebagai rukun Islam kedua dan menjadikannya sebagai amal yang pertama kali dihisab. Berbeda dengan kewajiban lainnya yang turun seiring wahyu melalui malaikat Jibril, shalat langsung dijemput oleh baginda nabi Muhammad SAW dengan menghadap sang Khaliq. Oleh sebab itu, meninggalkan shalat dipandang sebagai perbuatan yang meruntuhkan agama dan pelakunya diancam dengan dosa yang amat besar sekaligus mendapat predikat fasiq (pelaku dosa besar).

Dalam kondisi perjalanan jauh yang memakan waktu, tidak sedikit umat Islam yang terganjal melaksanakan shalat. Baik kemacetan panjang yang melanda kendaraan pribadi maupun sikap sopir di kendaraan umum, tampaknya menimbulkan polemik dalam pelaksanaan ibadah kaum muslimin. Oleh sebab itu perlu dikaji tentang tata cara shalat dalam kendaran berdasarkan pendekatan yang objektif.

Pelaksanaan Shalat di Atas Kendaraan

Shalat di atas kendaraan merupakan alternatif terakhir dalam mengambil keringanan selama perjalanan. Sedapat mungkin melaksanakan shalat dengan berdiri menghadap kiblat dan bersuci dengan wudhu sebagaimana mestinya. Jika harus mengambil rukhshah (keringanan), maka menjama’ shalat jauh lebih dianjurkan dibanding shalat di atas kendaraan. Hal ini dikarenakan dalam jama’ hanya ada satu hal yang dikorbankan, yaitu persoalan waktu. Sedangkan shalat di atas kendaraan akan mengorbankan banyak hal. Seperti rukun shalat yang mengharuskan berdiri, ruku’ sujud dan duduk tahyat. Begitu pula dengan syarat sah shalat baik bersuci dan menghadap kiblat. Sebagaimana yang dinyatakan dalam kaidah fiqhiyyah, ma ubiha li ad-dharuroti yuqaddaru biqadariha (perkara yang diperbolehkan karena kedharuratan hanya diperkenankan sekedarnya saja). Artinya rukhshah  yang diambil harus seminimal mungkin sebagai penghormatan kepada syari’at.

Ketika melakukan perjalanan jauh, menggunakan kendaraan umum dan tidak ada pilihan selain shalat di atas kendaraan maka ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Mengingat akan banyak keringanan yang diambil sehingga mengorbankan banyak aspek, shalat di atas kendaraan mengharuskan adanya pembahasan cukup rinci dari para ulama.

Pertama persoalan kiblat di atas kendaraan. Sebagaimana yang diketahui, kiblat setiap muslim adalah ka’bah yang terdapat di Masjidil Haram. Oleh sebab itu, ketika menjalankan shalat di atas kendaraan harus diupayakan menghadap kiblat. Dalam kondisi sulit menghadap kiblat, maka seorang muslim menghadap ke arah kendaraan, dengan kewajiban mengulang shalat setibanya di tempat yang memungkinkan untuk shalat menurut Mazhab Syafi’i dan tidak wajib menurut mazhab Hanbali.

Selanjutnya persoalan bersuci yang merupakan syarat sah shalat. Dalam kondisi kendaraan menyediakan toilet dan memungkinkan bersuci dengan air di dalamnya, maka hal itu harus dilakukan. Akan tetapi jika tidak memungkinkan bersuci menggunakan air di atas kendaraan, maka seorang muslim harus bertayamum. Para ulama menyatakan bahwa alat yang seyogyanya digunakan dalam bertayammum adalah debu yang nyata. Yaitu debu yang wujud keberadaanya dapat dibuktikan dengan panca indra. Sebagaimana berwudhu tidak dapat dilakukan dengan uap air, tayamum diharuskan menggunakan debu yang nyata. Bahkan para ulama menjelaskan debu yang dapat digunakan bertayammum adalah debu yang dapat melekat di tangan (Taqiyuddin Abu  Bakr Ad Dimasyqi, Kifayah al-Akhyar. 1: 76, Dar Basyair, 2001).

Dalam kondisi debu tersebut tidak dapat ditemukan, setiap muslim yang mengalaminya disebut dengan faqid al-thahuraini (tidak memiliki dua alat bersuci yaitu air dan debu).  Syaikh Wahbah Zuhaili memisalkan kondisi ini (faqid al-thahuraini) dengan orang yang berada di kapal dan tidak bisa menjangkau air maupun debu (Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. 1: 451,  Dar Fikr, 1985).  Pelaksanaan shalat orang dalam kondisi demikian adalah sebagai berikut.

Ulama mazhab Syafi’i sebagai mazhab fikih mayoritas masyarakat muslim Indonesia, menyatakan faqid al-thahuroini diharuskan shalat di atas kendaraan untuk menghormati waktu. Akan tetapi ketika telah keluar dari kondisi sulit seperti telah turun dari kendaraan, maka ia wajib mengulangi shalatnya dengan cara yang sesuai syari’at. Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh ulama Mazhab Hanafi (Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. 1: 452).

Sedangkan ulama Hanabilah berpandnagan bahwa kewajiban syari’at melekat dengan kemampuan hamba Allah SWT. Dikarenakan faqid al-thahuraini tidak mampu bersuci, maka ia diwajibkan shalat di atas kendaraan, akan tetapi ia tidak dibebani kewajiban mengulang karena ia telah menjalankan agama sesuai kemampuannya.

Bagaimana Dengan Debu yang Tak Terlihat di Bangku dan Dinding Kendaraan?

Perlu diperjelas bahwasannya debu yang tidak terlihat berupa partikel kecil tidak hanya terdapat pada kursi dan dinding. Partikel kecil seperti atom dan molekul juga melekat pada tubuh kita dan beredar di udara. Seandainya tayammum diperkenankan dengan atom dan molekul, maka kita hanya perlu menggerakkan wajah dan tangan di udara karena di udara terdapat debu yang tidak terlihat.

Sekalipun memiliki argumentasi yang berbeda, ulama menyepakati tidak sahnya tayamum dengan bangku dan dinding kendaraan selama tidak mengandung debu yang nyata.  Dalam Mazhab Syafi’i dan Hanbali, tayammum hanya dapat dilakukan dengan debu yang nyata dan suci. Bahkan kalangan ini mengharuskan debu itu menempel di tangan. Sedangkan Mazhab Hanafi dan Maliki membolehkan tayamum dengan hamparan bumi seperti batu, kerikil dan barang tambang yang belum berpindah dari tempatnya (masih terdapat di tanah). Sedangkan bangku dan dinding kendaraan jelas tidak termasuk kedalam jenis benda yang disebutkan oleh para ulama (Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah. 1: 146, Dar Kutub al-‘Alamiyah, 2003). Hal ini dikarenakan barang tambang yang dijadikan bahan produksi kendaraan telah diangkut dan diolah.

Kesimpulan

Sebagai identitas keagamaan dan tiang agama, kewajiban shalat melekat pada diri setiap muslim dan tidak dapat diwakilkan, sehingga harus dikerjakan tanpa mencari-cari alasan. Bahkan dalam kondisi perang nabi bersama shahabat juga mendirikan shalat. Dalam  kondisi faqid al-thahuraini, penulis menguatkan pendapat mazhab Syafi’i. Yaitu wajib dikerjakan di atas kendaraan sekalipun tidak mampu menghadap kiblat dan bersuci, sebagai penghormatan kepada waktu shalat. Namun, jika telah berhenti wajib diulang dengan cara yang sesuai syari’at seperti shalat dalam kondisi normal.  ***

* Muhammad Muhsin Afwan adalah Pegawai Kemenag Kota Dumai.