PEKANBARU - Dalam memperingati 'World Day of Decent Work' atau Hari Pekerjaan Layak tahun 2021, Koordinator Wilayah (Korwil) Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Provinsi Riau, menitipkan harapan kepada Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia, Ida Fauziah.

Hal tersebut disampaikan oleh KSBSI dalam surat terbuka yang diterima oleh GoRiau.com, dimana KSBSI menyebut ada beberapa tuntutan yang ingin mereka sampaikan, dan ini berkaitan dengan nasib buruh di Indonesia yang semakin termarjinalkan.

Dalam surat yang ditandatangani oleh Ketua Koordinator KSBSI Riau, Juandy Hutauruk dan Sekretaris, C Jhon Pieter ini, juga tembuskan kepada Forkompinda Provinsi Riau, DEN KSBSI di Jakarta, Direktur ILO Perwakilan Asia di Jakarta, DPC Federasi KSBSI se-Provinsi Riau, Kadisnakertrans di Riau, dan aliansi serikat pekerja lainnya di Pekanbaru.

Berikut isi surat tertanggal 6 Oktober 2021 ini;

Yang terhormat dan kami muliakan dalam arena ketenagakerjaan Indonesia, Dr. Hj. Ibu Fauziah, M.Si selaku Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia.

Pada peringatan Hari Pekerjaan Layak tahun ini, kami Koordinator Wilayah Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KORWIL KSBSI) Provinsi Riau, mengusung beberapa tuntutan kepada Menteri Tenaga Kerja RI, untuk lebih memperhatikan nasib buruh Indonesia yang semakin termarjinalkan saat ini, mengalami kekecewaan secara massiv akibat banyaknya aspirasi yang tidak terjawab diantara persoalan buruh yang justru semakin kompleks dan menyulitkan.

KSBSI Provinsi Riau, menyuarakan 4 poin prioritas bagi kami saat ini, yaitu :

Dukunglah buruh untuk mendesak Presiden RI menerbitkan PERPPU yang menyatakan Bab IV (Klaster Ketenagakerjaan) UU Cipta Kerja tidak berlaku lagi, karena undang-undang ini secara jelas mendegradasi hak-hak buruh Indonesia, sebagaimana dalam poin2 berikut:

Pekerja Terancam Tidak Menerima atau Menurun Drastis Pesangon.

UU Ciptaker menghapus setidaknya 5 pasal mengenai pemberian pesangon. Imbasnya, pekerja terancam tidak menerima pesangon ketika mengundurkan diri, mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau meninggal dunia;

TKA Lebih Mudah Masuk RI

UU Ciptaker mempermudah masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA) ke Indonesia. Hal ini dapat dilakukan melalui Pasal 81 poin 4 hingga poin 11 UU Ciptaker yang mengubah dan menghapus sejumlah aturan tentang pekerja asing dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Batasan Maksimum 3 tahun Untuk Karyawan Kontrak Dihapus

Pemerintah mengubah dan menghapus sejumlah pasal dalam terkait ketentuan Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT) melalui UU Ciptaker, dan menghilangkan batasan maksimal karyawan kontrak selama 3 tahun;

Jam Lembur Tambah dan Cuti Panjang Hilang

Dalam UU Ciptaker tepatnya Pasal 81 poin 22 mengubah pasal 78 UU Ketenagakerjaan tentang waktu kerja lembur. Mulanya, pasal 78 UU Ketenagakerjaan menyebutkan jika waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam seminggu;

Tak Ada Lagi UMK

UU Ciptaker menghapus upah berdasarkan provinsi atau kota/kabupaten (UMK) dan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kota/kabupaten yang tertera dalam Pasal 89 UU Ketenagakerjaan. Sebagai gantinya, UU Ciptaker menyatakan jika gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu yang tertera dalam pasal selipan 88 C UU Ciptaker;

2. Segera Ratifikasi Konvensi ILO 190 Tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja.

Menaikkan martabat negara dan memperbaiki kondisi kerja dengan meratifikasi Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja. Pemerintah secara tegas telah mendukung terciptanya Konvensi ini, seharusnya juga mempertegas komitmen pelaksanaannya di tingkat negara dengan meratifikasinya segera sebagai bukti dan konsistensi memerangi kasus-kasus pelecehan dan kekerasan dai dunia kerja.

3. Bentuk Badan Tripartit atau Tripartit Plus untuk Perubahan Iklim dan Transisi Yang Adil

Perubahan iklim semakin mengancam kelangsungan bumi, sementara komitmen global untuk menekan kenaikan temperatur pada ambang batas 1,5°C sampai 2030 belum menunjukkan progres yang berarti. Indonesia yang berada pada urutan penyumbang emisi terbesar ke-4 dunia (Carbon Brief, 2015) di nilai belum optimal menerapkan kebijakannya dan dinilai dalam kategori tidak memadai (highly insufficient).

Sementara itu beberapa kebijakan di tingkat global yang diikuti kebijakan dan program tingkat nasional, seperti NDC atau LTS LCCR membawa dampak yang cukup signifikan bagi buruh. Sangat disayangkan Kementerian Tenaga Kerja belum memiliki perhatian yang layak atas issu ini. Untuk itu kami meminta segera bentuk Komite Perubahan Iklim dan Transisi Berkeadilan (Climate Change and Just Transition committee) secara Tripartit menyikapi setiap kebijakan perubahan iklim dan iklim usaha yang ada agar tidak merugikan bagi ketenagakerjaan dan memastikan pekerjaan layak sebagai aspek prioritas di dalamnya.

4. Stop Union Busting di Perusahaan multinasional dan di rantai pasok

Menghentikan PHK kepada para pekerja, khususnya di perusahaan multinasional dan di rantai pasok dan menghentikan intimidasi kepada para pekerja, khususnya yang tergabung di dalam Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia yang menolak tawaran pensiun dini.

1. Perlu adanya keterlibatan negara:

a. Melalui UU No 21 Tahun 2000 tentang SB/SP. UU ini sengaja dilabeli secara berbeda : serikat pekerja/serikat buruh. Tujuannya adalah untuk mengkotak-kotakan antara pekerja dan buruh. Kemudahan untuk membentuk sp/sb dengan jumlah minimal 10 orang menyebabkan kemudahan untuk membuat serikat tandingan.

b. Melalui UU No 2 Tahun 2000 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), dalam UU ini terdapat klausul khusus tentang perselisihan antar serikat, sehingga membuka peluang bagi pengusaha untuk membuat serikat tandingan yang akhirnya membuat serikat ini diadu domba sehingga sp/sb akan kehilangan fokusnya dalam perjuangan organisasi.

2. Menghalang-halangi buruh untuk bergabung di dalam serikat.

3. Mengintimidasi.

4. Memutasi pengurus.dan atau anggota serikat.

5. Surat peringatan.

6. Skorsing.

7. Memutus hubungan kerja.

8. Membentuk pengurus tandingan dalam serikat yang sama.

9. Menolak diajak berunding Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

10. Tidak mengakui adanya PKB.

11. Membuat peraturan perusahaan secara sepihak.

12. Tidak memberikan pekerjaan.

13. Mengurangi hak/kesempatan. ***