MENINGKATNYA kebutuhan energi merupakan kondisi yang tidak terelakkan seiring dengan berjalannya roda perekonomian, meningkatnya jumlah penduduk, dan bergesernya gaya hidup masyarakat yang semakin membutuhkan energi.

Salah satu sumber energi utama di Indonesia adalah batubara. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa kontribusi batubara dalam pasokan energi primer di Indonesia adalah sebesar 38,46 persen.

Di kancah dunia, Indonesia juga memiliki peran penting dalam memasok batubara di berbagai negara. Pada tahun 2020, Statistical Review of World Energy oleh BP mencatat Indonesia sebagai negara produksi batubara terbesar ketiga di Asia Pasifik dengan total produksi 562,5 juta ton.

Dengan total produksi tersebut, Indonesia berkontribusi atas 7,3 persen batubara di dunia. Tepat di bawah posisi Indonesia, terdapat Australia yang berkontribusi atas 6,2 persen produksi batubara dunia. BP juga mencatat Australia dan Indonesia sebagai dua negara eksportir terbesar di dunia dengan kontribusi masing-masing sebesar 29,1 persen dan 26,8 persen.

Tingginya produksi batubara di Indonesia tak lepas dari besarnya cadangan batubara di Indonesia, dan teknologi eksploitasi batubara yang relatif sederhana. Selain itu, tingginya permintaan internasional menjadi faktor pendorong meningkatnya produksi batubara. Saat ini, sumber peningkatan permintaan batubara Indonesia berasal dari negara Cina.

Potensi Batubara Indonesia

Sejak tahun 2020, Cina berseteru dengan Australia akibat konflik dugaan sumber penyebaran COVID-19. Ketegangan kedua negara dipicu oleh pengajuan Perdana Menteri Australia kepada World Health Organization (WHO) untuk melakukan penyelidikan global atas penyebab munculnya Covid-19.

Australia menduga bahwa Cina merupakan dalang di balik pandemi yang terjadi dan bertanggung jawab untuk menanganinya. Sejak saat itu, Cina merespons kecaman Australia dengan memberlakukan tarif impor kepada beberapa komoditas Australia, termasuk batubara. Alhasil, Cina mulai beralih untuk meningkatkan permintaan batubaranya ke Indonesia.

Sebagaimana diketahui, Cina merupakan negara produsen dan konsumen batubara terbesar di dunia dengan persentase sebesar 50,4 persen dan 54,3 persen terhadap total dunia (BP, 2020).

Kekurangan suplai di Cina akibat perseteruan dengan Australia tersebut akhirnya diisi oleh Indonesia. Selain itu, posisi batubara Indonesia yang semakin jaya disokong dengan harga batubara dunia yang melejit.

Menurut data Kementerian ESDM, harga acuan batubara bulan November 2021 meningkat 285,95 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.

Pengamat Ekonomi Zachary Halaschak dalam tulisannya di Washington Examiner menyatakan bahwa terdapat beberapa penyebab peningkatan harga batubara, yaitu gangguan rantai pasokan, meningkatnya permintaan pasca-pandemi, dan harga gas alam yang tinggi.

Di balik besarnya peran batubara Indonesia dan meningkatnya harga batubara dunia, apakah hal ini merupakan kondisi baik bagi Indonesia?

Benarkah Indonesia Diuntungkan?

Pada acara World Leader Summit on Climate Change ke-26 (COP-26) di Glasgow, Indonesia turut menandatangani deklarasi Global Coal to Clean Power Transition atau transisi batubara global menuju energi bersih. Poin pertama dari deklarasi tersebut adalah meningkatkan penyebaran energi bersih dan efisiensi energi.

Kedua, meningkatkan teknologi dan kebijakan untuk transisi dari pembangkit listrik yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (unabated coal power generation) di tahun 2030 untuk mayoritas negara. Secara global, implentasi poin kedua diharapkan dapat tercapai pada tahun 2040.

Ketiga, menghentikan penerbitan izin mengenai proyek baru PLTU batubara yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon.

Keempat, memperkuat upaya domestik dan internasional untuk menyediakan kebijakan finansial, teknis, dan dukungan sosial untuk transisi yang adil dan inklusif.

Dari keempat poin tersebut, Indonesia memutuskan untuk tidak terikat pada poin ketiga dengan pertimbangan bahwa penghentian PLTU batubara harus dilakukan secara bertahap. COP-26 merupakan konferensi yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membahas cara mengatasi perubahan iklim.

Batubara merupakan bahan bakar fosil yang menghasilkan polusi terbesar. Selain itu, efek gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembakaran batubara juga merupakan kontributor terbesar pada perubahan iklim.

Dari seluruh COP yang pernah diselenggarakan, COP-26 merupakan ajang pertama yang secara eksplisit menyetujui untuk mengurangi penggunaan batubara.

Meskipun Indonesia telah mendukung deklarasi tersebut, namun inisiasi akan sia-sia jika tidak didukung dengan implementasi nyata.

Dengan harga batubara global yang menyentuh level tertinggi, para pengusaha tambang batubara lokal tentunya semakin terpicu untuk meningkatkan produksi agar memenuhi permintaan global. Hal ini merupakan kondisi yang bertolak belakang dengan deklarasi yang telah disetujui oleh pemerintah Indonesia.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, dibutuhkan usaha secara bertahap untuk dapat meninggalkan sumber listrik dari PLTU batubara, namun di sisi lain pemerintah harus memastikan akses energi cukup bagi seluruh rakyat Indonesia.

Salah satu alternatif yang dapat dipertimbangkan adalah transisi nyata ke energi bersih dan dapat diperbaharui, seperti membuka potensi energi biomassa. Energi biomassa merupakan sumber energi yang berasal dari hewan dan tanaman.

Energi biomassa sering disebut sebagai energi karbon netral yang berarti melepas jumlah karbon yang sama banyaknya saat melakukan pembakaran dan saat tanaman bertumbuh. Sebagai karbon netral, energi biomassa memiliki kelebihan dibandingkan batubara karena pembakaran batubara menghasilkan emisi karbon yang lebih besar.

Untuk dapat mewujudkan penggunaan energi biomassa secara lebih masif, dibutuhkan kolaborasi yang besar antar pemangku kebijakan. Proyek energi tidak dapat serta merta diserahkan kepada masyarakat atau perusahaan, melainkan dibutuhkan kebijakan dan tata kelola yang baku untuk mengembangkannya. Dibutuhkan sinergitas antar kementerian untuk dapat mewujudkan pengembangan energi biomassa.

Indonesia tentu akan sulit untuk terpisah dengan ketergantungan atas batubara, mengingat bahwa tingginya harga batubara dunia dan besarnya permintaan global juga akan memberikan kontribusi pada perekonomian pasca pandemi.

Di sisi lain, besarnya emisi yang dihasilkan batubara juga mengancam perubahan iklim Indonesia di waktu mendatang.

Lalu apakah usaha pemulihan ekonomi melalui produksi batubara saat ini sepadan dengan ancaman iklim di masa depan? Sehingga, upaya pemulihan ekonomi serta sekaligus mempertimbangkan mengatasi perubahan iklim di masa mendatang tentunya akan menjadi tantangan yang serius bagi Indonesia.***

Jesica Nauli Br. Siringo Ringo, S.Tr.Stat adalah lulusan Politeknik Statistika STIS-BPS.