SELATPANJANG - Sempat terjadi konflik antar nelayan Desa Mengkikip dan Teluk Belitung. Konflik antar nelayan itu terjadi pada 4 Juni 2020 di perairan Desa Mengkikip, Kecamatan Tebingtinggi Barat, Kepulauan Meranti.

Dimana nelayan setempat tidak terima nelayan dari luar mencari ikan disana menggunakan alat tangkap jaring batu. Karena menurut mereka, akibat adanya aktifitas tersebut hasil tangkapan mereka menjadi berkurang, sementara hal itu sudah diperingatkan berkali-kali.

Dengan respon cepat Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepulauan Meranti langsung melakukan mediasi dengan pertemuan antara keduabelah pihak dan dihadiri pihak kepolisian.

Pertemuan yang dilakukan di vicnic Kopitiam Selatpanjang, Rabu (10/6/2020) itu ada kesepakatan yang dihasilkan, dimana kedua belah pihak sepakat berdamai namun belum ditentukan, hal itu dikarenakan harus menunggu keputusan dari hasil koordinasi ke provinsi yang dilakukan HNSI Kepulauan Meranti.

Pengurus HNSI Kepulauan Meranti berkoordinasi dengan Polres Kepulauan Meranti selaku penegak hukum. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan seperti terjadinya konflik susulan, walaupun saat ini kedua belah pihak sudah sepakat berdamai.

"Sebagai penegak hukum yang aktif di lapangan, kami juga meminta dukungan Polres Kepulauan Meranti. Dimana Polair yang mempunyai wilayah disana juga bisa melaporkan jika adanya gesekan antar nelayan," kata ketua HNSI Kepulauan Meranti, Rony Samudra SH.

Rony juga mengatakan jika selama ini di perairan tersebut terjadi kesenjangan antar nelayan, dimana nelayan desa tersebut tidak ada yang menggunakan jaring batu, sementara nelayan dari luar malah menggunakan jaring tersebut.

"Selama inikan terjadi kesenjangan, untuk itu HNSI meminta nelayan jaring batu tidak beroperasi dulu ditempat tersebut, sambil menunggu, kami akan segera berkoordinasi dengan provinsi seperti apa solusi yang akan diberikan," kata Rony.

Sementara itu, Sekretaris HNSI Kepulauan Meranti, M Qarafi mengatakan jika alat tangkap jaring batu bukanlah suatu alat tangkap yang dilarang, namun penggunaannya harus berjarak 2 mil dari bibir pantai.

"Kalau kita melihat jaring batu ini bukanlah alat tangkap yang dilarang, namun jalur tangkapnya yang salah, dimana penggunaannya harus 2 mil dari bibir pantai, tapi kan ini beroperasi didalam selat, tidak memenuhi syarat," kata Qarafi.

Dikatakan Qarafi, jika saat ini nelayan jaring batu di Kepulauan Meranti sangat dilema jika peraturan ini dibuat, pasalnya untuk jarak 2 mil nelayan harus menggunakan kapal berukuran besar.

"Ini dilema jika ditetapkan peraturannya, dimana hampir 90 persen nelayan kita mempunyai kapal dibawah ukuran dibawah 5 GT, sementara untuk melaut dijarak 2 mil dari bibir pantai harus menggunakan kapal diatas 5 GT," kata Qarafi.

Untuk itu kata Qarafi, pihaknya akan berkoordinasi dengan Dinas perikanan dan Kelautan provinsi Riau dan meminta solusi terhadap permasalahan ini.

"Pihak provinsi sebagai pengawasan kami minta solusinya untuk menyelesaikan permasalahan ini, jika dibiarkan maka akan terjadi konflik yang berkepanjangan. Selain itu kami ingin dinas terkait untuk turun langsung ke lapangan dan melakukan pendekatan kepada masyarakat," ujarnya.

Kapolres Kepulauan Meranti, AKBP Taufiq Lukman Nurhidayat mengatakan jika perbuatan merusak alat tangkap nelayan adalah tindakan pidana, namun pihaknya ingin masalah ini diselesaikan dengan baik dan secara kekeluargaan.

"Jangan sampai ada permasalahan lagi antara kita. Laut itu milik bersama kalau nanti berkonflik terus kapan bisa menangkap ikan. Untuk itu sama- sama kita menjaga Kamtibmas, jangan lagi ketika sudah dimediasi berkonflik lagi. Pihak kita dari Satpolair juga akan berpatroli memantau situasi," kata Kapolres.

GoRiau Saat berlangsungnya pertemuan
Saat berlangsungnya pertemuan di Vicnic Kopitiam, Selatpanjang.
"Dengan adanya aktifitas nelayan dari luar yang menangkap ikan di perairan desa kami menggunakan jaring batu, hasil tangkapan masyarakat menjadi berkurang. Kami pun sudah sering mengingatkan mereka agar tidak beroperasi di perairan desa," kata Kepala Desa Mengkikip, Tarmizi.

Tarmizi juga mengatakan jika masyarakat di desanya tidak ada yang menggunakan alat tangkap jenis tersebut, melainkan hanya jaring biasa

"Masyarakat kami saja tidak ada menggunakan jaring batu, karena kami tahu alat tangkap jenis itu bisa merusak populasi ikan jenis tertentu," kata Tarmizi.

Kepala Desa Mengkikip itu juga mengaku jika ada warganya yang bertindak brutal dan anarkis dengan memotong tali jaring batu milik nelayan Teluk Belitung sehingga menyebabkan jaring mereka tenggelam. 

"Memang ada masyarakat kami yang bertindak diluar kewajaran dan merusak jaring nelayan Teluk Belitung. Hal itu dilakukan spontan karena masyarakat sudah jenuh dan kesal. Berulangkali diingatkan, tapi mereka tidak mengindahkan himbauan masyarakat kami," ujar Tarmizi.

Sementara itu ketua kelompok nelayan, Teluk Belitung, Andi mengatakan jika pihaknya tidak ingin memperkeruh suasana, Dia berharap permasalahan ini diselesaikan, namun dia tetap menunggu hasil koordinasi yang dilakukan HNSI ke provinsi.

Namun dia meminta kepada pihak terkait untuk tidak juga memberi izin kepada nelayan jaring batu lainnya.

"Mengingat kita ini saling bersaudara, saya tidak ingin memperpanjang kasus ini. Tapi kami belum mengganggap kasus ini selesai sampai menunggu hasil dari rapat yang dilakukan di tingkat provinsi dan itu akan dibuktikan dengan kesepakatan hitam diatas putih pada pertemuan kedua nanti. Saya pun tidak bisa memutuskan sendiri dan harus bermusyawarah dulu dengan kelompok," pungkasnya.***