JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra) Fahri Hamzah, kembali menyoroti sistem mitigasi bencana dan peralatan peringatan dini tsunami (early warning system), yang dimiliki Indonesia.

Menurut Fahri, mungkin peralatan yang dimiliki Indonesia, teknologinya sudah tidak mampu melakukan pemantauan menyeluruh karena letaknya yang terputus-putus. Apalagi, di Indonesia yang jelas-jelas daerah ring of fire dan memiliki peluang bencana yang sangat besar, kalau tidak punya alat yang memadai, maka bencana bisa mengintai dari hari ke hari.

Kebetulan, sambung Fahri, dirinya pernah menjadi anggota Panitia Khusus (Pansus) DPR yang membahas Undang-Undang Nomor 21/ 2013 tentang Keantariksaan. "Saat itu saya pernah mengusulkan adanya satelit yang memantau perjalanan kerak bumi," terang Fahri dihadapan Kepala dan Pejabat BMKG di ruang CEWS BMKG, Kemayoran, Jakarta, Rabu (9/1/2019).

Karena UU tersebut memungkinkan Indonesia berkemungkinan, untuk mengembangkan teknologi antariksa untuk melakukan mitigasi bencana. Diantaranya dalam bentuk mengembangkan satelit yang memantau pergerakan kerak bumi, maupun aktivitas gunung berapi secara lebih masif dan komprehensif.

"Dan, menempatkan teknologi pemantauan dan mitigasi bencana di Indonesia adalah sesuatu yang sangat mutlak dan darurat. Itu pertama yang saya katakan sebagai pandangan terakhir tentang bagaimana cara mengatasi bencana," tandasnya.

Fahri kemudian menceritakan sewaktu dirinya menjadi anggota Panitia Khusus (Pansus) Pembentukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan. Wacana pengadaan satelit mitigasi bencana mencuat karena Indonesia berada di wilayah ring of fire. "Yang mengusulkan itu LAPAN dan saya anggota pansusnya. Sejak itu disahkan memang di antara fokus kita adalah satelit mitigasi bencana," tandasnya.

Ketika studi UU Keantariksaan dilakukan, Fahri berkata satelit pemantau kerak bumi yang merupakan bagian mitigasi bencana telah banyak digunakan di negara-negara lainnya.

"Bahkan, teman-teman kita di LAPAN mengatakan sanggup bikin sendiri. Saya lupa biayanya, sekitar Rp143 miliar, lupa saya, dan itu harus diprioritaskan," ujar Fahri.

Ia menilai kesadaran mitigasi bencana seharusnya dibangun sejak awal karena Indonesia berada di wilayah rawan bencana. Sehingga, segala kebijakan dapat mengantisipasi potensi jatuhnya korban.

"Lalu kita membeli alat sederhana yang dipasang dan dapat dicuri orang. Tapi kalau dia dalam bentuk satelit yang dipantau dari laboratorium yang terjaga, itu lebih aman, sehingga kita bisa beri peringatan lebih dini terkait aktivitas kerak bumi," ungkap Fahri.

"Bahkan, satelit itu juga bisa memantau deforestasi, penebangan liar," sambung dia.

Apalagi kata Fahri, Deputi Bidang Meteorologi BMKG Drs. R. Mulyono Rahadi Prabowo sudah menjelaskan, pihaknya saat ini masih bekerjasama dengan Jepang karena belum memiliki satelit cuaca.

"Bayangkan negeri kita kaya dan sangat rawan bencana, itu sudah diajukan dari tahun 2015, tapi sampai sekarang belum terealisasi. Sehingga BMKG kesulitan mendapat informasi cepat, saat ini mereka informasinya masih delay sekitar 10 menitan. Ini kan merugikan, padahal kita mampu beli," tandasnya.

Lebih lanjut Fahri mengungkapkan mendapat informasi jumlah alat pendeteksi bencana yang berfungsi di Tanah Air hanya 22 hingga 50 titik dari total 200 tempat. Maka itu, ia mengimbau presiden ke depannya dapat mengajukan proposal mitigasi bencana menggunakan teknologi canggih yakni satelit.

"Jadi proporsal ini harus diajukan ulang. Saya kira presiden yang akan datang harus memulai teknologi mitigasi bencana ysng paling canggih dan itu dalam bentuk satelit," jelas dia.***