SELATPANJANG - Pakar Lingkungan DR Elviriadi kembali menyoroti kerusakan ekosistem gambut di Pulau Padang, salah satu daerah Kabupaten Kepulauan Meranti. Ia menyarankan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) harus melakukan monitor lajunya subsiden gambut.

Kata Elviriadi, Pulau Padang itu sebenarnya tidak cocok untuk dialih fungsikan menjadi perkebunan monokultur atau pengeboran minyak. Sebab, tanah di sana merupakan rawa gambut yang dikenal sebagai fragile land (tanah rapuh).

Kata dosen Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau itu lagi, adalah tindakan ceroboh ketika hutan hujan tropis Pulau Padang  diratakan dengan tanah. Lalu diiris dengan kanal-kanal besar.

Asam-asam fenolat dan biogeokimia gambung hanyut dibawa air tanah menuju kanal. Inilah sumber subsiden (penurunan) dan biang Karhutla.

Pemkab Meranti harus segera monitor, di treatment, apa upaya meredam kerusakan ekosistem di sana. Apalagi habitat kumbang moncong (Rhynchophorus) telah terganggu, yang menyebabkan kelapa masyarakat digereknya sehingga menjejaskan ekonomi penduduk.

"Di Pulau Padang dan Pulau Rangsang Kabupaten Meranti laju subsiden harus cepat diawasi Dinas LHK. Kalau tidak, tiba-tiba saja nanti pulau-pulau itu tenggelam," kata Ketua Departemen Perubahan Iklim KAHMI Nasional itu, Senin (9/4/2108).

Menurut anak watan Kepulauan Meranti itu lagi, setidaknya ada 3 langkah yang dapat dilakukan Pemkab khususnya Dinas LHK;

Pertama, untuk mengukur laju subsiden (penurunan permukaan) gambut, ajak Badan Restorasi Gambut (BRG) guna kelengkapan teknologi dan biaya. Apalagi Kabupaten Kepulauan Meranti target BRG juga.

Kedua, mengajukan adendum Amdal pada perusahaan Migas dan HTI yang beroperasi di kedua pulau perbatasan tersebut. Karena sudah ada dampak penting seperti keluhan masyarakat dan degradasi ekologis.

Ketiga, Pemkab Meranti perlu merangkul tokoh-tokoh masyarakat dan ahli, terutama pihak legislatif untuk meninjau seluruh dinamika masyarakat melayu yang terdampak. Dengan merangkul elemen strategis itu, Pemkab Meranti bisa punya bargaining yang kuat. Jadi, masyarakat Kota Sagu punya martabat dan bertuan di negeri sendiri.

"Nah, dulu kan pernah gara-gara ini ada demo besar besaran di Kantor Bupati dan DPRD Riau, aksi jahit mulut di Istana Negara, dan konflik pertanahan yang serius. Ini menandakan Amdal dan rekomendasi kepala daerah tidak matang," kata Aktivis Muhammadiyah itu.

Selain itu, DPRD Meranti sepatutnya menelaah Program Coorperate Social Responsibility (CSR), apakah sudah membantu mensejahterakan masyarakat?," kata Elv di akhir bincang-bincang dengan GoRiau. ***