JAKARTA - Komite II DPD RI menilai Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan belum berpihak kepada petani. Secara spesifik UU ini belum mengatur hak petani, bahkan pergerakan petani masih dibatasi.

“Seharusnya UU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan untuk meningkatkan peran petani. Namun faktanya petani masih disusahkan baik pupuk, bibit, lahan dan lain-lain,” ucap Wakil Ketua Komite II Bustami Zainudin saat RDPU dalam rangka pengawasan UU Nomor 22 Tahun 2019 di Gedung DPD RI, Jakarta, Rabu (5/2/2020).

Senator asal Lampung itu juga menilai UU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan dinilai berpihak pada kepentingan perusahaan benih besar. Akibatnya, petani dibuat bergantung terhadap benih hasil produksi mereka.

“Alhasil keragaman benih jadi berkurang dan banyak benih yang tidak cocok dengan karakteristik sawah di desa yang berbeda-beda,” paparnya.

Pada kesempatan ini, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin menjelaskan pertumbuhan sektor pertanian pada tahun 2019 kuartal tiga tumbuh 3,08 persen. Dengan kinerja pertumbuhan ekonomi makro 5 persen, pertumbuhan pertanian sebenarnya tidak terlalu buruk.

“Ketika dibedah dua tahun terakhir pertumbuhan petani kurang bagus. Lantaran harga-harga komoditas perkebunan di tingkat global rendah, karena belum pulih pada kondisi normal,” terangnya.

Bustanul menambahkan kemiskinan petani juga masih tergolong tinggi yang disebabkan beberapa faktor. Salah satu penyebabnya karena petani masih menanggung harga yang mahal, sehingga banyak petani yang beralih fungsi.

“Petani saat ini masih menanggung harga mahal. Bahkan menyebabkan petani beralih fungi,” lontarnya.

Sementara itu, Guru Besar Genetika dan Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pertanian IPB Sobir mengatakan setiap tahun jumlah petani terus berkurang dan lahan pertaninan juga semakin sulit. Bahkan, saat ini tidak ada upaya pemerintah secara spesifik untuk meregenerasi petani muda.

“Selama ini kami terus mendorong petani muda karena jumlah petani setiap tahun terus berkurang,” ulasnya.

Di kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komite II Hasan Basri menjelaskan bahwa permasalahan pertanian di setiap daerah berbeda-beda. Ia mencontohkan di Sulawesi Selatan yang terkendala dengan iklim dimana enam bulan hujan, dan enam bulan kemarau.

“Di Sulawesi Selatan sangat sulit bertanam, ketika musim hujan drainase mereka rusak karena dilewati kendaran atau hewan ternak. Ketika kemarau, sulit air. Jadi seharusnya sistem budi daya berkelanjutan seperti apa yang cocok di sana,” kata Hasan Basri.

Senator asal Kalimantan Utara itu juga mencontohkan beras terbaik di dearahnya yaitu Beras Krayan. Sayangnya, Beras Krayan produksinya sangat sedikit dan tidak bisa ditanam di daerah lain, maka seharusnya bisa dicarikan solusinya untuk ditanam daerah lain.

“Beras Krayan harusnya bisa dicarikan solusinya untuk bisa ditanam daerah lain. Karena beras ini menjadi makanan Sultan Brunei dan dinikmati warga Malaysia,” paparnya.

Pada rapat ini, Anggota DPD RI Provinsi asal Bali Made Mangku Pastika menjelaskan lahan persawahan di Bali banyak yang dijadikan heritage. Permasalahan lain di Bali yaitu berkurangnya petani dan lahan, tentunya menjadi perhatian bersama.

“Petani dan lahan di Bali sudah semakin sulit. Sementara pekerjaan di bidang lain seperti pariwisata terus menguat,” lontarnya.***