JAKARTA - Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengungkap setidaknya lima poin dalam RUU KUHP yang jika diterapkan, bisa memidanakan jurnalis.

Pertama, pasal terkait penyebaran berita bohong di RUU KUHP. Pasal ini, menurut Abdul Fickar, sama dengan UU nomor 1 tahun 1946, dimana telah diketahui bahwa berita itu adalah bohong, atau penjabaran berita yang tidak lengkap, "yang separo-separo", kemudian menimbulkan kekacauan di dalam masyarakat atau menimbulkan anarkisme di dalam masyarakat, "ketentuan pasal itu bersinggungan dengan kebebasan pers,".Abdul Fickar, kemudian mengulang apa yang menurutnya dikemukakan oleh AJI (Aliansi Jurnalis Independen) sebelumnya. Bahwa, ketika jurnalis wawancarai seorang ahli atau pendapat seseorang, tiba-tiba pendapat itu berubah, bisa jadi itu ditafsirkan sebagai berita bohong. Kondisi kian runyam ketika, narasumber tidak mau bertanggungjawab atas pernyataan yang menurutnya bukan dari dia."Kalau sudah begitu tanggungjawab ada di siapa? Apakah di jurnalisnya atau pada orang yang memberi pernyataan," tukas Abdul Fickar dalam diskusi "RUU KUHP Kebiri Kebebasan Pers?" di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Selasa (03/09/2019)."Jadi di pasal tentang berita bohong ada aspek jurnalismenya, artinya sangat mungkin temen-temen jurnalis bisa dipidanakan di situ," ujarnya.Kedua, lanjut Abdul Fickar, tentang penerbitan yang dilarang. Pasal ini, sangat munkin menjerat temen-temen jurnalis, karena belum jelas apa yang dimaksud dengan penerbitan yang dilarang oleh undang-undang."Apakah kalau dulu misalnya novel 'Bumi Manusia' itu nggak boleh terbit ketika awal-awal tahun 70-80 puluhan? Kita juga sebagai mahasiswa nyarinya ngumpet-ngumpet," kata Abdul Fickar mengenang satu novel fenomenal karya Pramodya Ananta Toer."Terutama pada pasal 771, 772, 773. Di AJI, itu bahaya kalau tidak ada penjelasan yang benar, mengenai kriteria atau terminologi berita yang dilarang oleh undang-undang," imbuhnya.Ketiga, terkait dengan peliputan dan penayangan terbuka proses suatu persidangan, semisal sidang kasus Sianida, silam. Menurut Abdul Fickar, mesti jelas publikasi yang dilarang terkait hal ini.Karena sebenarnya, kata Abdul Fickar, mestinya inti pelarangan bukan pada penyiarannya tetapi pada "ketika disiarkan secara keseluruhan, maka itu akan mempengaruhi saksi-saksi yang belum didengar. Itu sebenarnya,".Selanjutnya, yang menjadi perhatian dalam telaah kebebasan pers di RUU KUHP ini, kata Abdul Fickar, adalah apakah RUU KUHP cukup jelas mengatur soal informasi rahasia san informasi publik. Indonesia memiliki UU Rahasia Negara dan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP).Ia mencontohkan implementasi UU Rahasia Negara yang bisa memidanakan jurnalis ketika mendapat informasi akurat dari penegak hukum terkait sidang satu kasus, kemudian jadi berita, padahal sidang belum digelar."Saya kira ini harus menjadi perhatian agar ke depan teman jurnalis bisa dijamin tidak diterapkan pasal-pasal ini," katanya.Terakhir, kata Abdul Fickar, mengenai pasal tentang penghinaan terhadap presiden. Menurutnya pasal ini mestinya dihapus, karena terkait penghinaan sudah ada pasal tersendiri sehingga Presiden bisa menggunakan pasal itu dan deliknya, aduan.Abdul Fickar khawatir, pemberlakuan pasal penghinaan terhadap presiden membatasi kritik jurnalisme presiden. Padahal, seperti juga jabatan publik lainnya, mestinya jabatan presiden memang jabatan yang terbuka pada kritik."Karena itu MK membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden, pasal penghinaan terhadap jabatan umum, karena jabatan itu memang untuk dikritisi. Karena itu saya selalu bilang, mestinya masuk pasal penghinaan tapi mungkin ada pemberatnya," pungkas Abdul Fickar Hadjar.***