JAKARTA - Hasil akhir Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 berpeluang masuk ke meja hijau, baik Mahkamah Konstitusi (MK) maupun Mahkamah Agung (MA).

Peluang masuk MK, sebagaimana terjadi pada Pilpres 2014 lalu, kala Jokowi-JK berhadapan dengan Prabowo-Hatta. Kala itu, Permohonan Perselisihan Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan kubu Prabowo-Hatta lengkap dengan tumpukan alat bukti, ditolak MK, Kamis (21/8/2014), melalui amar putusan setebal 4.390 halaman; Jokowi pun menang Pilpres dan dilantik.

"Maka apabila ada keberatan mengenai DPT, seperti penambahan dan modifikasi jumlah pemlih sebagimana didalilkan pemohon, seharusnya permasalahan tersebut diselesaikan oleh penyelenggara dan peserta dalam kerangka waktu tersebut," kata Hakim Ahmad Fadlil Sumadi kala itu-menjelaskan soal DPT.

Dan peluang hasil Pilpres 2019 masuk MK, kembali terbuka dengan adanya berbagai dugaan kecurangan yang jadi temuan BPN Prabowo-Sandi. Tak hanya soal DPT, tapi juga soal Situng KPU, dll.

Ketua MK, Anwar Usman, usai menghadiri buka puasa bersama Presiden Jokowi dengan petinggi lembaga negara di Istana Negara, Jakarta pada Senin (06/05/2019), pun menyatakan bahwa MK, "Sudah sangat siap. 100%,".

Selain ke MK, hasil Pilpres 2019 juga berpeluang masuk ke MA. Yakni, ketika berbagai temuan BPN Prabowo-Sandi soal dugaan kecurangan Pemilu 2019, bisa dibuktikan melibatkan Capres Petahana (Jokowi) sehingga memenuhi unsur pasal 463 ayat 4 UU Pemilu tahun 2017.

Tapi, buntut dari situasi itu, Paslon yang dikenai sanksi pembatalan pencalonan itu berhak untuk maju ke MA berdasarkan ayat 5 pasal yang sama. Pasal, yang akhir ayatnya menegaskan bahwa, "Putusan Mahkamah Agung bersifat frnal dan mengikat,".

Soal pembatalan atau diskualifikasi paslon ini, tengah menjadi langkah yang kasat mata sebagai agenda perlawanan kubu Prabowo-Sandi seperti dinukil dalam berita "Menurun di Tikungan, Dari People Power ke Diskualifikasi Jokowi".

Prabowo memang tampak terseok memperjuangkan kemenangan dan memilih mengamini perlawanan di jalur konstitusi sebagai langkah perjuangan yang logis, di tengah kondisi kekuatan politik di BPN yang nampak kian surut.

Setidaknya, pernyataan Prabowo di hadapan masyarakat Aceh-di tengah isu rekonsiliasi yang menyeruak pra rekapitulasi akhir KPU RI bahwa, "Haqqul yaqin, saya percaya rakyat Indonesia pada saatnya akan menentukan sikapnya sendiri", menjadi penanda bahwa Prabowo tengah menjaga tensi karena tak cukup dukungan politik untuk menggelorakannya.

Di tengah potensi berlanjutnya hasil Pemilu 2019 ke MA itu, belum terdengar kesiapan MA-apalagi sampai 100% seperti kesiapan MK, untuk menyambut hasil Pemilu di mejanya. Malahan, desakan agar Ketua MA mundur, kian kencang.

Desakan itu muncul dari Indonesia Corruption Watch (ICW) pasca KPK menangkap Hakim Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan bernama Kayat, seorang pengusaha bernama Sudarman dan pengacaranya Johnson Siburian pada Jum’at (03/05/2019) malam. Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka terkait jual beli perkara di PN Balikpapan.

"Kami menuntut Hatta Ali mengundurkan diri sebagai Ketua MA, karena dinilai telah gagal untuk menciptakan lingkungan pengadilan yang bersih dan bebas dari praktik korupsi," ujar aktivis ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis, Sabtu (4/5/2019) lalu.***