KENDARI - Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) mendorong pemerintah dan DPR untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Daerah Kepulauan yang saat ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dorongan ini, sebagai bentuk keberpihakan DPD RI terhadap upaya pengembangan pembangunan di daerah-daerah kepulauan.

Wakil Ketua Komite I DPD, Benny Ramdhani menegaskan, jika RUU ini berhasil disahkan menjadi UU, maka akan menjawab tantangan tentang berbagai persoalan yang terjadi selama ini di daerah kepulauan.

"Untuk membangun suatu daerah, terlebih daerah kepulauan, memang diperlukan ‘political will’ dan komitmen yang tinggi dari pemerintah. Karena itu, kami berharap pemerintah dan DPR memiliki keseriusan dalam membahas RUU tentang Daerah Kepulauan tahun 2018 nanti," ujar Branny sapaan akrab Benny Rhamdani, saat menyampaikan paparannya dalam Sosialisasi RUU tentang Daerah Kepulauan, di kantor Gubernur Sulawesi Tenggara, Selasa (28/11).

Selain Benny Ramdhani, acara itu juga dihadiri anggota DPD asal Sulawesi Tenggara, Yusran A Silondae, anggota DPD asal Lampung Syarif, anggota DPD asal Kalimantan Selatan Antung Fatmawati, anggota DPD asal Sulawesi Tengah Bahar Ngitung.

Selain itu, hadir pula Pimpinan Komisi II DPR, Gubernur Sulawesi Tenggara yang diwakili oleh Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri yang diwakili oleh Drektur Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah II, dan sejumlah anggota DPRD setempat dan tokoh masyarakat lainnya.

"Keberadaan RUU ini, merupakan salah satu bentuk tanggung jawab moral dan politik DPD, khususnya Komite I terhadap konstituen di daerah. Melalui kegiatan sosialisasi RUU ini pula diharapkan dapat terjalin komunikasi yang semakin baik dengan seluruh jejaring stakeholders di daerah, khususnya daerah kepulauan,” ujar ujar Senator asal Sulawesi Utara ini.

Karena itu, Benny mengharapkan dukungan dari daerah dan masyarakat terhadap RUU usul inisiatif DPD ini. Terlebih ketika dilakukan pembahasan secara tripartit antara DPR, DPD, dan Pemerintah.

Dia menyadari, sejak Indonesia merdeka hingga saat ini, perspektif pembangunan lebih berorientasi pada daratan. Padahal, ujar Benny, negara Indonesia secara geografis adalah sebuah negara kepulauan, dimana wilayahnya terdiri atas ribuan pulau.

“Pemfokusan pembangunan di wilayah daratan ini telah menjadikan wilayah kepulauan identik dengan kondisi tertinggal, terbelakang, dan miskin. Oleh karena itu, paradigma pembangunan yang berorientasi pada daratan, harus diubah. Pembangunan daerah kepulauan harus mulai dilakukan, yang diwujudkan dengan upaya dan tindakan yang menunjukkan keberpihakan terhadap pembangunan di daerah kepulauan,” katanya.

Peningkatan kualitas hidup melalui pemberdayaan masyarakat dan optimalisasi potensi daerah, kata Benny, harus mulai digalakkan, yang kesemuanya tidak dipungkiri memerlukan proses.

Komite I DPD berpandangan bahwa keberadaan RUU ini sangat diperlukan, terpisah dan bukan menjadi bagian dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Meskipun dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah tersebut diatur mengenai provinsi di laut dan provinsi berciri kepulauan dalam Pasal 27 s/d Pasal 30, namun pengaturan ini dipandang belum memenuhi asas kepastian hukum untuk pengelolaan wilayah laut dan penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kepulauan.

“Pengaturan tersebut, kami rasakan belum cukup mewadahi berbagai kepentingan dan permasalahan daerah kepulauan, dalam rangka mengejar ketertinggalan pembangunan, teknologi, dan sumber daya manusia demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat di daerah kepulauan,” ujarnya.

Dia meyakini bahwa konsepsi politik Nawacita yang menekankan ‘membangun Indonesia dari pinggiran’ men-syaratkan terpenuhinya azas kepastian hukum pengelolaan dan penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kepulauan.

RUU usul inisiatif DPD ini, merupakan salah satu perwujudan kepastian hukum dimaksud. Untuk itu, diperlukan political will dan komitmen yang tinggi untuk membangun daerah kepulauan,” katanya lebih lanjut.

Dia pun menjelaskan bahwa RUU ini tidak dimaksudkan untuk menuntut dibentuknya pemerintahan daerah khusus atau istimewa sebagaimana UU tentang Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat, Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, dan Undang-Undang tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogayakarta.

“RUU ini hanya meminta tambahan kewenangan atas sejumlah urusan, berupa wilayah pengelolaan laut, kewenangan tambahan bagi provinsi, kab/kota di daerah kepulauan, dan pendanaan khusus bagi daerah kepulauan,” ujarnya.

Sedangkan Pemerintahan Daerah yang sudah ada sekarang, katanya, merupakan entitas untuk mewadahi pengelolaan berbagai tambahan kewenangan, ruang, dan pendanaan tersebut. Dengan demikian, model desentralisasi asimetris dalam RUU ini tidak berbasis pada kelembagaan khusus melainkan berbasis pada tiga elemen, yaitu ruang, urusan, dan pendanaan.

Benny menambahkan, melalui RUU Daerah Kepulauan, diharapkan daerah kepulauan dapat berkembang sepesat, sehingga tidak ada lagi ketimpangan pembangunan antara kepulauan dengan daratan dan antara Barat Indonesia dengan Timur Indonesia. ***