JAKARTA - Sekira lebih dari 30 ribu narapidana dan anak binaan akan mendapat asimilasi dan integrasi berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. H.HH-19.PK. 01.04.04 tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.

Dalam Kepmen itu disebut bahwa asimilasi dan integrasi dilakukan terhadap narapidana yang 2/3 masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020 dan anak yang 1/2 masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020.

Keputusan pemerintah ini menuai kontroversi. Data yang juga ditampung Komisi III DPR RI selaku mitra kerja Kementrian Hukum dan HAM, setidak masyarakat mempertanyakan; Apakah tepat melakukan pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19 di lingkungan rumah tahanann (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (lapas)? Dan, bukankah para narapidana dan anak binaan justru berada di lingkungan terisolasi dan karenanya relatif aman dari virus Corona?.

Catatan GoRiau.com, Koalisi Lawan Corona bahkan lebih memprioritaskan pembatasan kunjungan di Lapas ketimbang merilis para Napi ke tengah masyarakat jika belum ada jaminan penghidupan bagi para eks Napi pasca perilisan.

"Perlu dipahami bahwa kegiatan penegakan hukum, termasuk melakukan penahanan, tidak berhenti dilakukan kendati kita tengah menghadapi perang melawan virus Corona seperti sekarang. Artinya, intake baru di rutan/lapas bisa tetap terjadi. Di satu sisi, intake baru ini adalah risiko besar penyebaran," kata Ketua Komisi III DPR RI, Herman Herry dalam keterangan tertulisnya, Senin (6/4/2020).

Jajaran KemenkumHAM, kata Herman, juga telah melakukan sejumlah upaya lain untuk menanggulangi penyebaran virus Corona di rutan/lapas. "Penyemprotan disinfektan, petugas yang masuk harus mengikuti protokol pencegahan Covid-19, kewajiban memakai masker dan APD, hingga mengganti model kunjungan menjadi video Conferency,".

"Namun, hal itu memang tidak cukup. Sebagaimana kita ketahui bersama, kondisi di dalam rutan/lapas di Indonesia sangat padat (overcrowded) sehingga tidak memungkinkan dilakukan physical distancing. Inilah faktor utama sehingga kemudian muncul kebijakan darurat terkait asimilasi dan integrasi narapidana serta anak binaan," kata Herman.

Kebijakan darurat yang diambil Menkumham dan jajarannya ini, dinilai Herman, juga sudah sesuai dengan rekomendasi Komisi Tinggi PBB untuk HAM, Michell Bachellet, untuk membebaskan narapidana pada kondisi darurat Covid-19 saat ini. Sub Komite Pencegahan Penyiksaan PBB juga merekomendasikan hal serupa dan telah diikuti secara massif oleh banyak negara.

"Iran membebaskan 85 ribu narapidana ditambah 10 ribu tahanan politik. Brasil membebaskan 34 ribu orang, Polandia mengeluarkan lebih dari 10 ribu narapidana, Afghanistan melepaskan lebih dari 10 ribu napi berusia di atas 55 tahun, Tunisia mengeluarkan lebih dari 1.400 orang, sementara banyak negara bagian di AS yang melepaskan ribuan narapidana," Herman merinci.

Sehingga, dengan alasan kemanusiaan, kata Herman, "saya sependapat dengan keputusan Menkumham dan jajarannya mengikuti rekomendasi tersebut mengingat kondisi rutan dan lapas di Indonesia sangat padat,".

"Saya rasa kebijakan untuk memberi asimilasi dan integrasi kepada narapidana setelah memenuhi syarat-syarat tertentu merupakan kebijakan yang progresif. Saya mendukung kebijakan ini asal dipastikan perilisan narapidana ini tetap memperhatikan peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Jangan sampai kebijakan ini malah dijadikan beberapa oknum pegawai Lapas untuk melakukan tindakan-tindakan koruptif dan transaksional," kata Herman.***