JAKARTA - Pasca memenangkan gugatatan praperadilan atas KPK dalam penetapan tersangka terkait kasus dugaan korupsi e-KTP, kini Setya Novanto mulai mengonsolidasikan kekuatan demi mengamankan kursi sebagai Golkar-1. Sempat digoyang di internal Partai Golkar, kini Novanto malah balik memukul lawan-lawan politiknya yang hendak menyingkirkannya dari tahta Ketua Umum Partai Golkar.

Padahal saat itu, tim kajian elektabilitas partai telah merekomendasikan penonaktifan Novanto dan menunggu jawaban Novanto pada rapat pleno DPP. Tim ini diinisiasi oleh Yorrys Raweyai, Korbid Polhukam Partai Golkar yang kini sudah dipecat serta Ketua Harian Nurdin Halid. Setelah menang praperadilan dan kemudian keluar dari rumah sakit, Novanto membuat sejumlah manuver.

Berikut empat manuver politik Novanto di Golkar.

1. Memerintahkan Idrus Marham Membuat Memo Dinas

Sehari sebelum pembacaan putusan praperadilan, Novanto memerintahkan Sekjen Idrus Marham untuk membuat memo dinas bagi seluruh pengurus DPP Partai Golkar. Memo dinas itu diteken Idrus pada Rabu (27/9). Memo ini berisikan 'perintah' untuk menunda rapat pleno yang sebetulnya beragendakan meminta jawaban Novanto atas desakan mundur yang sudah disampaikan.

Dalam rapat pleno itu seharusnya, sejumlah pengurus mengutarakan aspirasi agar Novanto nonaktif selaku Ketum Golkar. Dalam memo dinas itu disebutkan alasan penundaan rapat pleno karena kondisi Novanto yang sedang sakit. Alasan lain, Idrus berharap rapat ditunda sambil menunggu vonis sidang praperadilan Novanto. Belakangan rapat pleno yang telah dirancang ini pada akhirnya batal dilaksanakan sampai saat ini.

"Mengingat Ketua Umum sedang sakit dan saat ini masih melakukan upaya hukum (proses praperadilan sedang berjalan), Ketum DPP Golkar meminta kepada seluruh jajaran Pengurus DPP Partai Golkar untuk mendoakan perjuangan Ketum serta meminta agar rencana rapat pleno tanggal 28 September ditunda," tulis Idrus dalam surat itu.

2. Diam-diam melakukan konsolidasi petinggi Partai Golkar

Sejak hari pertamanya pulang dari Rumah Sakit pada, Selasa (3/10). Para petinggi Partai Gokar berdatangan dan berkumpul di kediaman Novanto di Jalan Wijaya XIII nomor 19, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Novanto memanggil pengurus-pengurus DPP yang dekat dan juga mendesaknya untuk nonaktif.

Mulai dari Idrus Marham, Nurul Arifin, Mahyudin, Nurdin Halid, Roem Kono, dan petinggi Golkar yang lain merapat ke rumah Novanto. Tak jelas apa yang dibahas, tetapi yang setelah konsolidasi itu, suara penonaktifan Novanto dari Ketum DPP Golkar mulai mereda.

Sebelumnya, ketika masih terbaring di RS Premier, mulai dari Luhut Binsar Panjaitan, Agung Laksono, Aburizal Bakrie, dan Ridwan Bae juga sempat menjenguk Novanto. Misalnya pernyataan Korbid Kepartaian Kahar Muzakir. Sebelum vonis praperadilan, Kahar merupakan salah satu yang tegas menyuarakan penonaktifan Novanto.

Namun, setelah menang, Kahar seakan buang badan. Ia mengaku tak tahu menahu soal wacana penonaktifan Novanto.

3. Mencopot Yorrys Raweyai dari Kepengurusan

Yorrys Raweyai yang menjabat Korbid Polhukam DPP Golkar, tiba-tiba dicopot dan digantikan oleh Letjen (purn) Eko Widyamoko. Pencopotan dirinya karena manuver Yorrys selama ini yang keras mendesak agar Novanto mundur dari jabatannya.

Selain mencopot Yorrys, Novanto juga melakukan revitalisasi dan restrukturisasi jajaran kepengurusan DPP. Dalam surat bernomor KEP-252/DPP/Golkar//X/2017 itu diteken Ketua Umum Setya Novanto dan Sekjen Golkar Idrus Marham pada Senin (2/10) lalu. Idrus mengatakan perombakan itu merupakan mandat yang diberikan kepada Ketum dari hasil Rapat Pimpinan Nasional di Balikpapan.

"Memberikan tugas kepada Ketum untuk melakukan revitalisasi pengurus untuk menjamin akselerasi kerja kepengurusan DPP Golkar," ucap Idrus.

Pemecatan Yorrys ini menuai reaksi dari internal Golkar. Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Sumatera I DPP Golkar, Andi Sinulingga, menyebut langkah Novanto ini sudah jelas melanggar AD/ART partai. Pasalnya, pemecatan harus terlebih dahulu melalui rapat pleno.

Menurut Andi, merujuk pada pasal 13 AD/ART, ayat dua, huruf a, Partai Golkar, pemberhentian pengurus harus melalui rapat pleno DPP dan kemudian dilaporkan kepada Rapimnas. "Pemberhentian Yorrys Raweyai melanggar prosedur kepartaian, melanggar kitab suci Partai Golkar," ujar Andi seperti yang dikutip GoNews.co dari kumparan (kumparan.com), Rabu (4/10).

4. Mengumpulkan DPD I se-Indonesia di Jakarta

Sekitar 27 Ketua DPD I Golkar se-Indonesia berkumpul di Hotel Dharmawangsa, pada Jumat (6/10) malam lalu. Kabarnya pertemuan tersebut membahas revitalisasi susunan pengurus DPP Golkar dan juga membahas kondisi partai terkini.

Meski demikian, Sekjen Idrus Marham cepat-cepat membantah apabila pertemuan itu diinisiasi dan dihadiri oleh Ketua Umum Setya Novanto. Idrus tak mempermasalahkan jika memang pertemuan itu benar digelar. Sebab, para Ketua DPD I juga punya hak menentukan masa depan partai.

"Saya tidak hadir, ketua umum juga tidak hadir jadi tidak tahu. Saya hanya dengar katanya antara 70-80 persen Ketua DPD datang. Jadi itu hak dan inisiatif DPD I, yang punya hak, kapan saja, enggak ada masalah. Mereka juga punya hak menentukan bagaimana Golkar ke depan," tutur Idrus, Minggu (8/10).***