JAKARTA - G (19), seorang mahasiswi Telkom University (Tel-U) diduga menjadi korban pelecehan seksual oleh FGS (21), seniornya di kampus, pada November 2018.

Dalam pemberitaan salah satu media siber, United Voice Bahrul Bangsawan yang menjadi pendamping korban menjelaskan, hubungan antara G dan FGS mulai terjalin ketika FGS hendak mengembalikan lampu tumblr yang dipinjamnya. Komunikasi yang kian intens sejak itu, diselingi dengan permintaan foto syur via seluler oleh FGS; hubungan badan di kost FGS; nonton bioskop bersama, dan tinggal bersama di kost FGS sekira satu minggu, serta beberapa kali hubungan badan pada rentang seminggu itu.

Persetubuhan yang terjadi itu dilakukan dengan intimidasi. Pihak kampus sedang melaksanakan beberapa proses penyelidikan untuk mengungkap kebenaran dari perkara tersebut. Menurut pendamping korban, korban mengalami kondisi yang dinamakan tonic immobility.

Menanggapi insiden ini, Direktur Executif Women Working Group (WWG), Nukila Evanty menyatakan, dalam kasus ini terlihat korban yang telah mengalami kekerasan seksual telat melapor dan enggan jika dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang sensitif seperti; "apakah kamu melakukan perlawanan terhadap pelaku?", atau "Mengapa kamu nggak menjerit atau berteriak minta tolong?".

"Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mohon dihindari nanti oleh pihak kampus atau pihak lainnya. Pertanyaan tersebut akan sangat-sangat menyakitkan bagi si G! Pertanyaan tersebut bukan malah akan membongkar kejadian kekerasan seksual tersebut tetapi akan membuat si G merasa bersalah , menyalahkan diri sendiri, dan malu. Korban seperti G selalu akan diliputi rasa bersalah," kata Nukila dalam keteran pers, Selasa (31/12/2019).

Nukila mengungkapkan, penelitian terbaru dari klinik korban perkosaan di kota Stockholm, Swedia, terhadap korban yang selamat dari kekerasan seksual dan perkosaan menemukan bahwa, ketika korban ditanyai umumnya menjawab tidak melakukan perlawanan, terhadap pelaku, tidak minta tolong bahkan tidak berteriak.

Selama terjadi perkosaan atau kekerasan seksual tersebut, lanjut Nukila, mereka mengalami apa yang disebut dengan "kelumpuhan sementara" atau tonic immobility (TI). "Dan kalau diantara mereka ada yang menderita TI yang sifatnya ekstrim, maka dua kali kemungkinan mereka akan menderita post traumatic stress disorder atau gangguan stres paska-trauma (PTSD),".

"Dan kemungkinan tiga kali setelah kejadian kekerasan seksual akan menderita depresi berat," kata Nukila.

Tonic Immobility (TI), Nukila menjelaskan, merupakan kondisi dimana tubuh mengalami kelumpuhan yang tidak disengaja; tubuh tidak dapat bergerak; atau dalam banyak kasus tidak bisa berbicara. Pada hewan, reaksi ini dianggap sebagai pertahanan adaptif evolusioner terhadap serangan predator ketika bentuk pertahanan lainnya tidak memungkinkan. Lebih sedikit fenomena ini diketahui terjadi pada manusia.

Nukila melanjutkan, studi terbaru yang telah diterbitkan Acta Obstetrecia et Gynecologica Scandinavica menyebutkan, hampir 300 perempuan yang dirawat di klinik korban pemerkosaan, 70 persen korban telah mengalami tonic immobility (TI) dan 48 persen korban mengalami TI “ekstrim” pada saat kejadian pemerkosaan (tingkat keparahan kondisi korban diukur dengan indikasi perasaan beku, bisu, mati rasa, dan sebagainya).

"Nah, jika terbukti, pasal berapa pelaku bisa didakwa? Mungkin masuk hanya pasal "perbuatan cabul" yang diatur dalam KUHP Pasal 289 - 296," ujar Nukila.

Pasal 290 KUHP itu menyebutkan; Dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun:

1. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.

2. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin.

3. Barangsiapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.

"Ini yang diperjuangkan aktivis perempuan agar pasal tentang kekerasan seksual ini bisa lolos," kata Nukila.

Sedangkan Pasal 285 KUHP tentang perkosaan menyebutkan; Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam melakukan perkosaan dengan pidana penjara, paling lama dua belas tahun.

Dan WWG, tandas Nukila, mendesak agar pasal dalam RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) yang berbunyi: "Kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, atau tipu muslihat, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual".

"Dapat segera dipertimbangkan oleh anggota DPR baru, untuk menjadi bagian materi dalam RUU KUHP. Sehingga pelaku bisa dijerat segera dalam pasal tersebut yang telah memanfaatkan korban yang tidak bisa melawan dan dalam keadaan TI," katanya.

Kedua, lanjut Nukila, WWG berpendapat tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah atau "presumption of innocent" dan mendesak agar kekerasan seksual ini harus segera dibuktikan, "Justice delayed justice denied,".

WWG juga meminta agar ada mekanisme memulihkan korban tonic immobility yang mengalami kekerasan seksual agar bebas dari rasa malu, rasa bersalah, trauma, dan sebagainya.***