JAKARTA - Corona di Indonesia melonjak, Kabid Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Dr Masdalina Pane mewanti-wanti risiko kolaps fasilitas kesehatan dua hingga empat pekan mendatang. Kolaps dinilai Pane bisa terjadi jika tak ada pergerakan cepat dari pemerintah untuk tegas memperketat aturan demi menekan kasus COVID-19.

Pane mendesak pemerintah memperketat pengawasan warga terkait kepatuhan melakukan protokol kesehatan. Selain itu, ia menyoroti tracing COVID-19 yang perlu dijalankan dengan benar.

Dalam kesempatan terpisah, pakar epidemiologi Universitas Griffith Dicky Budiman menggambarkan beberapa kondisi yang bisa terjadi di Indonesia jika kolaps terjadi.

Seperti beberapa negara sebelumnya, termasuk India dan Wuhan, China, akan banyak kasus kematian COVID-19 yang terjadi sebelum sempat tertangani imbas fasilitas kesehatan setempat tak lagi mampu membendung jumlah pasien COVID-19 yang membludak.

"Kalau sampai kolaps ya artinya akan banyak yang tidak tertangani, dan akhirnya akan banyak yang meninggal, itu dari pasien ya. Kemudian, kematian ini menimbulkan dampak lain, dampak panik masyarakat itu yang terjadi kan waktu di Wuhan di Italia, di Amerika, di Brasil di India," jelas Dicky, Kamis (17/6/2021).

Dicky juga menegaskan panik massal akan terjadi dan menjadi perhatian serius pemerintah. Dari sisi psikis banyak warga akan ketakutan lantaran melihat kasus COVID-19 tak kunjung tertangani. "Wah ini panik massal ini serius, sangat serius, ini yang harus diperhitungnkan dari sisi psikologi massal sosial oleh pemerintah," sambungnya.

Belum lagi tenaga kesehatan yang berkurang, baik dikarenakan wafat akibat COVID-19, juga mereka yang akhirnya terdampak psikisnya hingga takut untuk merawat pasien Corona karena kasus COVID-19 sudah terlalu banyak. Beban tenaga kesehatan akan sangat meningkat jika kolaps benar terjadi.

"Kemudian dampak dari kolaps ini akan menyangkut SDM kesehatan, sdm kesehatan ini yang akan overburder, beban berlebihan, ya dia jatuh sakit, banyak juga kan sebelum kolaps ini sudah banyak yang meninggal," gambaran Dicky.

"Jadi ini akan menciptakan sebetulnay juga siklus atau lingkaran yang merugikan karena tadi panik akan menimbulkan banyak hal tapi di tenaga kesehatans endiri takut mengobati ke rumah sakit dan sebagainya termasuk semakin berkurang SDM nakesnya," lanjutnya.

Terakhir, hal yang paling mungkin terjadi terbatasnya alat kesehatan seperti ventilator. Permintaan ventilator atau bantuan alat oksigen yang paling diperlukan dalam menangani pasien COVID-19 kritis bisa terus meningkat hingga sulit akses menghadapi situasi tersebut.

"Nanti belum nanti dari sisi kolaps ini adalah dari sisi bagaimana ketersediaan atau terbatasnya ventilator atau oksigen jadi sangat bahaya," beber Dicky.

"Jadi hari demi hari akan terus meningkat karena kolapsnya ini banyak yang tidak tertangani, jadi namanya situasi puncak itu bisa lebih dari 2-3 hari, setidaknya semingguan, dan ini yang kita khawatirkan karena kematian besar yang terjadi kita tidak pernah tertangani sebelumnya," pungkasnya.***