JAKARTA - Rencana pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan, kembali disoal. Kekhawatiran warga adat Dayak Paser, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) soal "merdeka dan tak cuma jadi penonton", untuk kedua kalinya jadi paralel dengan kekhawatiran Sandiaga Uno.

Sabukdin, Kepala Adat Paser di Sepaku, menganggap pemindahan Ibu Kota Negara ke wilayah mereka tak beda dengan alih fungsi hutan demi perkebunan kelapa sawit dan pengolahan kayu, sehingga warga Dayak Paser kembali berpotensi kehilangan hutan yang menjadi sumber penghidupan mereka, dari pangan, papan, hingga persembahan untuk ritual sakral adat, dan lahan yang mereka tinggali secara turun-temurun bakal tergusur ibu kota baru yang ditargetkan menampung 1,5 juta orang itu.Meskipun, pemerintah dikabarkan berjanji mengakomodir kepentingan warga Dayak Paser dalam rencana besar pemindahan Ibu Kota.Kecemasan Sabukdin ini disampaikan secara eksklusif pada BBC Indonesia pada Kamis (05/09/2019). Katanya, "kami ingin daerah kami ramai, tapi bukan berarti kami menderita, hanya menonton,"."Pendatang sudah hidup di tanah kami, kami tidak menikmati kemakmuran, tetap melarat dan bisa lebih melarat kalau Ibu Kota ada di sini," tutur Sabukdin.Pengalaman berbicara, sengketa lahan menahun terjadi di perkampungan mereka karena saling klaim lahan adat, transmigrasi, dan sawit. Tanah yang diklaim Sabukdin telah dimiliki secara turun-temurun kini semakin sempit dan terkepung desa transmigrasi serta lahan berlabel hak guna usaha (HGU)."Lahan kami diambil padahal di situ ada makam nenek moyang kami," kata Sabukdin.Semenjak hutan dan lahan menyempit, masyarakat adat Paser tak lagi semerdeka di masa lalu secara adat termasuk soal aktifitas ekonominya. Hanya bagian kecil dari mereka yang bekerja sebagai operator mesin berat di perusahaan sawit, sisanya masih berpenghasilan dengan menjual hasil kebun, seperti nanas, terong, hingga lombok, dengan memanfaatkan lahan yang tersisa.BBC Indonesia juga melaporkan, setidaknya terdapat tiga korporasi kelapa sawit di Kabupaten PPU yang saling silang dengan perkampungan adat Dayak Paser, yaitu PT ITCI Hutani Manunggal, PT ITCI Kartika Utama, dan PT Waru Kaltim Plantation.Desa komunitas adat Dayak Paser sendiri tersebar sebanyak 4 Desa yakni, Desa Sepaku dan Mentawir sebagai desa adat tertua, dan Desa Semoi Dua serta Maridan.Merujuk pemetaan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, terdapat pula 13 wilayah adat di sekitar ibu kota baru yang akan berpusat di Kecamatan Sepaku, PPU; dan Kecamatan Samboja, Kutai Kertanegara.Sabukdin meminta agar ada perlindungan resmi terhadap hak-hak mereka, agar "tidak diambil begitu saja,"."Masyarakat kami di pedalaman hampir 90% tidak punya surat kuat atau sertifikat. Kebiasaan kami hanya punya tanah tapi tidak mengurus surat," kata dia.Sejak mula Presiden Jokowi meminta izin terbuka di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta pada 16 Agustus 2019, soal pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan, eks. Cawapres 2019, Sandiaga Salahudin Uno sudah mengungkap beberapa kekhawatiran."Kita khawatir nanti harga properti naik semua di Pulau Kalimantan," ujar Sandi kala itu.Kekhawatiran Sandi soal harga properti, terbukti dengan mulai masuknya spekulan tanah ke Kalimantan. Harga tanah melonjak dan mulai banyak yang pindah ke sekitaran Palangkaraya."7 tahun lalu rumah saya ini Rp500juta, sekarang Rp3miliar" kata Faizar-yang rumahnya berada di Buntok dan berjarak 5 jam perjalanan dari Palangkaraya, kepada GoNews.co, Jumat (06/09/2019).Apa yang jadi kehawatiran Sabukdin hari inipun, pernah diungkap oleh Sandi. Politisi asal Riau ini mengaku perlu untuk mendengar pendapat pakar terlebih dahulu sebelum menyatakan setuju.Sandi meyakini, pemidahan Ibu Kota dalam situasi ekonomi yang memeberatkan akan berdampak pada taraf hidup masyarakat baik di Jawa maupun Kalimantan."Dampak untuk lapangan kerja serta harga bahan-bahan pokok (bagaimana, red)?" tukas Sandi.***