PEKANBARU - Selain 6 orang dari pihak swasta, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga memeriksa walikota Dumai terpilih, H Paisal, terkait pengurusan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kota Dumai APBNP Tahun 2017 dan APBN 2018, yang menjerat mantan Bupati Dumai, Zulkifli Adnan Singkah.

H Paisal turut diperiksa sebagai saksi oleh KPK di gedung Mapolda Riau, pada hari ini, Senin (8/2/2021), bersamaan dengan 6 orang saksi lainnya.

Adapun pemeriksaan H Paisal berkapasitas sebagai saksi, saat dirinya menjabat sebagai Kadinkes Kota Dumai, pada tahun 2017-2018 lalu.

"Hari ini ada 7 orang saksi yang diperiksa. Dari pihak swasta ada 6, Dedi, Benny Akbar, Jasminto, Kun Teng,M Yusuf Kumbang, dan Zulhernanto. Sementara satu lagi ada H Paisal, mantan Kadinkes Kota Dumai," ujar Juru Bicara KPK, Ali Fikri, Senin sore.

Diketahui, H Paisal sudah ditetapkan sebagai Walikota Dumai terpilih, oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Dumai, pada hari Kamis (21/1/2021) lalu.

Dengan SK Nomor 05/PL.02.7-Kpt/1472/Kota/I/2021 tentang penetapan pasangan calon walikota dan wakil walikota terpilih dalam pemilihan walikota dan wakil walikota Dumai tahun 2020 menetapkan pasangan calon walikota dan wakil walikota nomor urut 03, Paisal-Amris yang diusung Partai Nasdem dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai Paslon Walikota dan Wakil Walikota Dumai terpilih dengan perolehan suara terbanyak yaitu 50.692 suara.

Untuk diketahui, Perkara ini ialah terkait dugaan gratifikasi, penerimaan uang sebesar Rp50 juta dan fasilitas kamar hotel di Jakarta dari pihak pengusaha yang mengerjakan proyek di Kota Dumai. Penerimaan gratifikasi diduga terjadi dalam rentang waktu November 2017 dan Januari 2018.

Sebelumnya, ada 18 orang yang diperiksa penyidik KPK terkait dengan Zulkifli AS. Mereka adalah Haslinar, anggota DPRD kota Dumai 2019-2024, Kimlan Antoni, Wiraswasta CV Putra Yanda, dan Yuhardi Manaf, mantan anggota DPRD Dumai 2009 - 2014 yang kini berwiraswasta.

Selanjutnya, Halimatushakdiah, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), Yuli Purwanto, karyawan swasta, Dedi, karyawan swasta, Muhammad Indra Gunawan Lubis, Wiraswasta, Joko Purnawan, wiraswasta dan Mimi Gusneti, pengurus rumah tangga.

Kemudian saksi lainnya adalah Baharudin, Akhmad Khusnul Ilmi, Ghulam Fatoni, Eli Yati, dan Hendri Sandra. Kelima orang tersebut berprofesi sebagai wiraswasta. Sedangkan empat orang lainnya yakni merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Mereka adalah Said Effendi, Kepala Bidang Perizinan dan Non Perizinan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Dumai, Marjoko Santoso, mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Dumai, Muklis Susantri, Kepala Bagian Pembangunan Sekretariat Daerah Kota Dumai, dan Humanda Dwipa Putra, seorang PNS.

Zulkifli Adnan Singkah kini telah mendekam di Rutan Polres Metro Jakarta Timur. Ia ditahan oleh KPK sejak Selasa (17/11) tahun lalu.

Perkara yang menjerat Zulkifli Adnan Singkah ini merupakan pengembangan dari perkara dugaan suap terkait usulan dana perimbangan keuangan daerah dalam RAPBN Perubahan Tahun Anggaran 2018.

Selain ZAS, KPK telah menetapkan 11 orang lainnya sebagai tersangka. Diantaranya Amin Santono selaku anggota Komisi XI DPR RI, Eka Kamaluddin selaku pihak swasta/ perantara. Lalu Yaya Purnomo selaku Kasie Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman pada Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Ahmad Ghiast selaku swasta/ kontraktor.

Ada pula nama Sukiman, anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2014-2019, Natan Pasomba Pelaksana Tugas dan Pj. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua. Kenam nama di atas tersebut telah divonis bersalah oleh majelis hakim pengadilan Tipikor.

Selanjutnya yang juga ditetapkan tersangka, BBD, selaku Walikota Tasikmalaya, KSS, Bupati Labuanbatu Utara 2016-2021, PJH pihak swasta sekaligus Wabendum PPP 2016-2019, ICM, anggota DPR 2014-2019, AMS, dan Kepala badan Pengelola Pendapatan Daerah Kabupaten Labuanbatu Utara.

Hingga saat ini, enam orang tersebut masih dalam proses penyelesaian penyidikan dan telah ditahan KPK.

Adapun konstruksi perkara yang menjerat Zul itu, bermula pada Maret 2017. Saat itu dia bertemu dengan Yaya Purnomo di sebuah hotel di Jakarta. Dalam pertemuan itu, Walikota Dumai yang kini non aktif tersebut, meminta bantuan untuk mengawal proses pengusulan DAK Pemerintah Kota Dumai.

Lalu pada pertemuan lain, akhirnya disanggupi oleh Yaya Purnomo dengan catatan fee sekitar 2 persen. Kemudian pada Mei 2017, Pemerintah Kota Dumai mengajukan pengurusan DAK kurang bayar Tahun Anggaran 2016 sebesar Rp22 miliar.

Dalam APBN Perubahan Tahun 2017, Kota Dumai mendapat tambahan anggaran sebesar Rp22,3 miliar. Tambahan ini disebut sebagai penyelesaian DAK Fisik 2016 yang dianggarkan untuk kegiatan bidang pendidikan dan infrastruktur jalan.

Masih pada bulan yang sama, Pemerintah Kota Dumai mengajukan usulan DAK untuk Tahun Anggaran 2018 kepada Kementerian Keuangan. Beberapa bidang yang diajukan antara lain RS rujukan, jalan, perumahan dan permukinam, air minum, sanitasi, dan pendidikan.

Zul kembali bertemu dengan Yaya Purnomo membahas pengajuan DAK Kota Dumai tersebut yang kemudian disanggupi untuk mengurus pengajuan DAK TA 2018 kota Dumai. Yaitu untuk pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah dengan alokasi Rp20 miliar, dan pembangunan jalan sebesar Rp19 miliar.

Untuk memenuhi fee terkait dengan bantuan pengamanan usulan DAK Kota Dumai kepada Yaya Purnomo, Zul memerintahkan untuk mengumpulkan uang dari pihak swasta yang menjadi rekanan proyek di Pemerintah Kota Dumai.

Penyerahan uang setara dengan Rp550juta dalam bentuk Dollar Amerika, Dollar Singapura dan Rupiah pada Yaya Purnomo dan kawan-kawan itu, dilakukan pada bulan November 2017 dan Januari 2018.

Sedangkan untuk perkara kedua, tersangka Zul diduga menerima gratifikasi berupa uang sebesar Rp50 juta dan fasilitas kamar hotel di Jakarta dari pihak pengusaha yang mengerjakan proyek di Kota Dumai. Penerimaan gratifikasi diduga terjadi dalam rentang waktu November 2017 dan Januari 2018.

Gratifikasi ini tidak pernah dilaporkan ke Direktorat Gratifikasi KPK sebagaimana diatur di Pasal 12 C UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Oleh karena itu, dalam dua Perkara tersebut, tersangka Zul disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ini untuk perkara pertama.

Sementara untuk perkara kedua, Zul disangkakan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. ***