PEKANBARU - Anggota Komisi II DPRD Riau, Marwan Yohanis angkat bicara terkait belum adanya terobosan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau dalam menindaklanjuti temuan 1 juta lebih lahan hutan yang sudah menjadi kebun sawit.

Sebagai informasi, KPK mencatat 1,2 juta Ha lahan sawit ilegal di Riau. Oleh Gubernur Riau, Syamsuar, direspon temuan itu dengan membentuk Satgas Penertiban Kebun Ilegal, September 2019 lalu.

Dikatakan Marwan, permasalahan lahan ilegal ini baru bisa diselesaikan jika ada kemauan politik dari pihak penguasa. Jika yang lantang bersuara terkait hal ini bukan penguasa, hal itu tidak akan efektif.

Marwan menganalogikan penuntasan masalah ini seperti Gubernur Riau, Syamsuar yang ingin melakukan perjalanan dinas ke Kuantan Singingi. Dimana, dalam perjalanan yang diiringi oleh voorijder itu, Syamsuar berhenti di salah satu masjid saat mendengar adzan.

Dia memastikan, rombongan yang ikut dibelakang pasti juga akan berhenti ke masjid tersebut. Namun, jika misalnya Syamsuar tidak berhenti, kemudian ada rombongan dari Kementerian Agama berhenti di masjid, dia menyebut hanya ada dua atau tiga mobil yang berhenti.

"Artinya apa, sekecil apapun sesuatu, kalau dilakukan penguasa akan sangat efektif. Tapi kalau bukan penguasa, sebanyak apapun yang dilakukan, itu tidak akan efektif," jelasnya, kepada GoRiau.com Kamis (21/1/2021)

Begitu juga dengan masalah lahan ilegal ini, sekuat apapun DPRD maupun masyarakat berteriak dan berkoar-koar, ditambah dengan pengorbanan masyarakat, masalah ini tidak akan tuntas.

Masalah lahan ilegal, sambung Marwan, terutama yang berkaitan dengan perusahaan, memang sudah menjadi keluhan dari masyarakat dibawah, bahkan ada nyawa-nyawa yang harus menjadi korban.

"Saya tak bosan-bosannya menyampaikan ini, kita bisa lihat fakta yang ada. Tidak sedikit pejabat Riau harus berurusan hukum karena masalah lahan ini. Tentu kita masih ingat dengan Mantan Gubernur Riau, Annas Maamun dulu," tuturnya.

Dari sana, tegas Marwan, bisa dilihat bahwa para pengusaha memanfaatkan tangan-tangan penguasa untuk bisa menguasai lahan, sehingga mereka bisa memiliki legalitas atas tanah tersebut.

Jadi, ketika ada konflik, pengusaha pasti menang di pengadilan karena mereka memiliki legalitas lengkap dibandingkan masyarakat setempat

"Tapi yang kita persoalkan bukan legalitasnya, tapi kita hanya mau tau bagaimana dia dapatkan itu? Benar atau tidak cara dia dapatkan itu. Sepanjang sistem di republik begitu dan tidak ada kemauan politik, saya pesimis masalah lahan bisa tuntas," tegasnya.

Lebih jauh, Marwan membandingkan cara pengalihfungsian lahan yang berbeda jauh dengan sistem kepengurusan tanah oleh masyarakat. Dimana, dalam kepengurusan tanah diwajibkan ada pengakuan dari tetangga-tetangganya

"Kalau kita beli tanah dan mau membuat sertifkatnya, pasti diukur sama tetangga dan pejabat setempat. Kira-kira lahan HGU yang begitu luas pakai pengakuan masyarakat setempat tidak? Kenapa untuk masalah yang kecil kita terapkan itu, sedangkan yang besar kita tidak lakukan," pungkasnya.***