JAKARTA - Ranah Minang dikenal dengan daerah yang berhasil melahirkan banyak cendekiawan terbaik. Bahkan, pemikir hebat dari tanah Minangkabau sudah ada sebelum Indonesia merdeka.

Hal itu dipaparkan Ketua Umum (Ketum) Harmoni Indonesia, Firdaus Ali, di sela-sela seminar anti hoax bertema "Menangkal Hoax dan Berita Bohong Demi Pemilu 2019 Yang Sehat dan Bermartabat" di Ball Room Hotel Basko Grand Mall Padang, Sumatera Barat (Sumbar), Minggu (10/2).

Hanya saja, terang Firdaus, sejak wabah hoax berkembang dan menjamur di era media sosial (medsos), intelektualitas masyarakat Minang sakan tergerus dengan ikut mempercayai hoax. Seperti tuduhan Joko Widodo (Jokowi) PKI, anti Islam dan lain sebagainya.

Firdaus mengaku berani blak-blakan soal wabah hoax menggurita di Ranah Minang karena murni berdarah Minang. Dia sekolah dasar sampai tamat SMA di Batu Sangkar.

"Saat ini, yang paling percaya hoax itu sendiri orang Minang. Kalau percaya hoax, Minangnya hilang, tinggal kerbau," terangnya.

Paling menyedihkan, lanjut staf khusus Menteri PUPR itu, hoax justru tumbuh di ruang-ruang kebaikan. Seperti surau, masjid hingga tempat belajar.

"Silahkan pilih sesuai hati nurani. Mau nomor urut 01 atau 02. Tapi jangan sampai termakan hoax. Sebab, yang memilih karena termakan fitnah itu lebih dari hina dari yang dipilihnya," terang Firdaus.

Sebagai putra asli Sumbar, Firdaus mengaku paham betul dengan watak dan karakter orang Minangkabau yang suka dan senang maota-ota (diskusi) di lapau (kedai). Sehingga, informasi dari mulut ke mulut gampang tersebar tanpa mengetahui pasti kebenarannya.

"Mungkin karena kultur, senang maota (diskusi) yang sudah jadi karakter. Harusnya, yang jelek-jelek (bergunjing) ditinggalkan. Saya berani bicara ini karena saya orang Minang," tegasnya.

Firdaus sendiri adalah Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun, yang dibelanya hari ini adalah pemerintah dibawah Presiden Jokowi dan bukan membela Jokowi selaku Capres 01. Sebab, menurut Firdaus, siapun aparat di Republik ini, wajib hukumnya membela pemerintahan.

"Yang nggak boleh itu berpolitik, jadi pengurus partai. Hak politik tidak mati," tegasnya.***