PEKANBARU - Anggota DPR RI Dapil Riau 1, Achmad menyatakan tetap menolak Undang-undang Omnibus Law yang disahkan oleh DPR RI dan Pemerintah Pusat pada awal Oktober 2020 silam, sebab banyak hal-hal yang dinilainya akan merugikan masyarakat nantinya.

Mantan Bupati Rohul dua periode ini mengatakan, fraksinya secara tegas juga sudah menyatakan penolakan dan memutuskan walk out dari rapat pengesahan.

Alasan pertama, jelas Achmad, adalah pengesahan UU ini kurang tepat waktunya, karena saat ini banyak hal yang lebih urgensi daripada UU itu. Apalagi, saat ini Indonesia tengah kelabakan menghadapi Pandemi Covid-19.

"Kita lebih baik fokus saja bagaimana menyelamatkan masyarakat dari ancaman virus ini, saya sering kataakn keselamatan rakyat adalah hal yang paling utama diatas segalanya. Dari sisi ekonomi juga sedang kacau, banyak pengangguran dan perputaran ekonomi macet," kata Achmad kepada GoRiau.com, Senin (26/10/2020).

Lalu, alasan kedua, secara prosedur mekanisme, UU ini terkesan terburu-buru. Sebab, ada sekitar 2000an lebih pasal yang dijadikan satu. Tentunya, ini memerlukan waktu yang cukup dan masih banyak stakeholder yang harus terlibat didalamnya, terutama kaum buruh.

UU ini, lanjutnya, akan dirasakan dampaknya oleh semua komponen bangsa, ditambah lagi jumlah halaman UU ini berbeda dengan yang disahkan kemarin itu.

"Ini bukan hanya masalah upah buruh, cuti, jam kerja saja, tapi lebih daripada itu. Ini menyangkut segala aspek, mulai dari ekonomi, lingkungan hidup, keamanan, termasuk juga kepengurusan usaha yang sentralistik," ungkapnya.

Negara ini, tegasnya, sudah menggaungkan semangat reformasi, namun dengan adanya UU ini kewenangan daerah akan diambil oleh pemerintah pusat. Padahal, reformasi bertujuan untuk percepatan pelayanan.

"Dengan Omnibus law ini justru kewenangan itu tersentralisasi, kewenangan daerah ditarik kembali. Ini akan menimbulkan persoalan. Tak mungkin wilayah seluas ini diatur oleh pusat. Karena, daerah lah yang paling paham kondisi dan merasakan dampak investasi," sambungnya.

Jadi, pemerintah daerah tidak bisa berbuat apa-apa lagi terhadap investasi yang masuk ke daerahnya, ditambah pula tidak ada lagi Analisis Dampak dan Lingkungan (Amdal), padahal Amdal merupakan komponen yang sangat penting.

"Suatu pabrik yang mau dibangun di suatu daerah harus dianalisa, bagaimana dampaknya dari sisi lingkungan hidup, sisi kesehatan, sisi keamanan masyarakat, semua harus dikaji," tuturnya.

Kalau misalnya, pemerintah mengklaim UU ini menguntungkan buruh, pasti serikat buruh menerima dengan senang hati, namun faktanya serikat buruh malah menolak karena mereka merasa dirugikan.

"Ini berbahaya karena akan mengarah ke ekonomi kapitalis dan liberal. Kita ini kan sistem ekonomi Pancasila. Masyarakat itu kan hanya butuh hidup, mulai dari kesehatan hingga pendidikan. Kalau investor kan mereka menumpuk kekayaan. Ini sisi ketidakadilannya," tutupnya.***