JAKARTA -- Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerbitkan surat telegram (ST) dengan nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021, tertanggal 5 April 2021. Salah satu poin dalam ST tersebut dinilai mengancam kemerdekaan pers.

Setelah dihujani kritik dari berbagai kalangan, terutama kalangan pers, Kapolri akhirnya mencabut ST tersebut.

Dikutip dari detik.com, pencabutan ini termuat dalam Surat Telegram Nomor: ST/759/IV/HUM.3.4.5./2021. Surat pencabutan tersebut dikeluarkan pada hari ini, Selasa, 6 April 2021, ditandatangani Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono.

''SEHUB DGN REF DI ATAS KMA DISAMPAIKAN KPD KA BAHWA ST KAPOLRI SEBAGAIMANA RED NOMOR EMPAT DI ATAS DINYATAKAN DICABUT/DIBATALKAN TTK,'' demikian bunyi surat telegram tersebut.

Dalam kesempatan ini, Divisi Humas Polri juga menyampaikan permintaan maaf jika terjadi miskomunikasi dan membuat ketidaknyamanan bagi kalangan media massa.

Karo Penmas Polri Brigjen Rusdi Hartono sebelumnya juga sudah memberikan klarifikasi. Dia menyatakan surat telegram tersebut sebenarnya dibuat untuk kepentingan internal.

''Lihat STR itu ditujukan kepada kabid humas, itu petunjuk dan arahan dari Mabes ke wilayah. Hanya untuk internal,'' kata Brigjen Rusdi.

Minta Polri Beri Penjelasan

Sebelumnya, menanggapi ST Kapolri ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 tersebut, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Arif Zulkifli meminta Polri memberikan penjelasan. Menurut Arif, isi dari telegram tersebut masih belum jelas, apakah ditujukan untuk media internal Polri atau media massa secara umum.

''Polri harus menjelaskan telegram tersebut apakah pelarangan tersebut berlaku untuk media umum atau media internal atau kehumasan di lingkungan kepolisian,'' ujar Arif kepada Kompas.com, Selasa (6/4/2021).

Arif tidak menginginkan ada kebingungan atau salah tafsir dalam mengimplementasikan TR Kapolri tersebut.

''Jangan sampai terjadi kebingungan dan perbedaan tafsir. Terutama jika kapolda di daerah menerapkannya sebagai pelarangan media umum,'' ucapnya.

Bahayakan Kebebasan Pers

Sementara Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rivanlee Anandar menyebut penerbitan surat telegram Kapolri mengenai larangan media siarkan aksi kekerasan dan arogansi polisi berpotensi membahayakan kebebasan pers.

''ST (surat telegram) tersebut berbahaya bagi kebebasan pers karena publik diminta percaya pada narasi tunggal negara. Sementara polisi minim evaluasi dan audit atas tindak-tanduknya, baik untuk kegiatan luring maupun daring,'' ujar Rivanlee melalui pesan singkat, Selasa (6/4/2021).

Rivanlee mengatakan saat ini tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Polri tengah menurun.

Namun, langkah yang dilakukan Polri seharusnya tidak dengan menutup akses terhadap media.

Seharusnya, kata dia, pembenahan institusi secara struktural harus dilakukan sampai dengan ke tingkat lapangan.

Sebaliknya, penerbitan surat telegram tersebut justru akan membuat publik semakin tidak puas.

''Terlebih lagi, banyak catatan dari penanganan aksi massa yang brutal. Publik mengharapkan polisi yang humanis, bukan yang suka kekerasan dengan dalih ketegasan,'' tegas Rivanlee.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerbitkan surat telegram yang mengatur soal pelaksanaan peliputan bermuatan kekerasan yang dilakukan polisi/dan atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik.

Telegram dengan nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 itu diteken Listyo Sigit pada 5 April 2021, ditujukan kepada pengemban fungsi humas Polri di seluruh kewilayahan.

Ada 11 poin yang diatur dalam telegram itu, salah satunya media dilarang menyiarkan tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan.

Karena itu, media diimbau menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas, tapi humanis.

Peraturan itu dibuat berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Perkap Nomor 6 Tahun 2017 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Organisasi pada Tingkat Mabes Polri, dan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012.

Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Rusdi Hartono mengatakan, telegram itu dikeluarkan agar kinerja polisi semakin baik.

''Pertimbangannya agar kinerja Polri di kewilayahan semakin baik,'' kata Rusdi, Selasa (6/4/2021).

Dia menyatakan, pada dasarnya telegram itu ditujukan kepada seluruh kepala bidang humas.

''Telegram itu di tujukan kepada kabid humas. Itu petunjuk dan arahan dari Mabes ke wilayah, hanya untuk internal,'' ujar dia.

Berikut isi lengkap surat telegram Kapolri tersebut:

1. Media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis.

2. Tidak menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian dan penyidikan terhadap tersangka tindak pidana.

3. Tidak menayangkan secara terperinci rekonstruksi yang dilakukan oleh kepolisian.

4. Tidak memberitakan secara terperinci reka ulang kejahatan meskipun bersumber dari pejabat kepolisian yang berwenang dan/atau fakta pengadilan.

5. Tidak menayangkan reka ulang pemerkosaan dan/atau kejahatan seksual.

6. Menyamarkan gambar wajah dan identitas korban kejahatan seksual dan keluarganya, serta orang yang diduga pelaku kejahatan seksual dan keluarganya.

7. Menyamarkan gambar wajah dan identitas pelaku, korban dan keluarga pelaku kejahatan yang pelaku maupun korbannya yaitu anak di bawah umur.

8. Tidak menayangkan secara eksplisit dan terperinci adegan dan/atau reka ulang bunuh diri serta menyampaikan identitas pelaku.

9. Tidak menayangkan adegan tawuran atau perkelahian secara detail dan berulang-ulang.

10. Dalam upaya penangkapan pelaku kejahatan agar tidak membawa media, tidak boleh disiarkan secara live, dokumentasi dilakukan oleh personel Polri yang berkompeten.

11. Tidak menampilkan gambaran eksplisit dan terperinci tentang cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak.***